Aku mematung dan menatap nanar seseorang yang baru saja membukakan pintu untukku.
"Apa kabar ponakan?" Pria berwajah ramah itu mencubit pipiku seperti yang selalu ia lakukan bila bertemu denganku.
Aku masih diam, memandangi helai demi helai rambutnya yang kini warnanya terlihat berbeda.
"Kagum dengan rambut om kamu Put?" seorang wanita yang masih mengenakan daster bergaya batwing tiba-tiba muncul lalu mencium kedua pipiku dan menarik lenganku untuk ikut masuk ke dalam rumah bersamanya.
Aku menyeringai.
"Om kan sudah tua, ya wajar lah rambutnya jadi gini." Om Ardi mengelus kepalanya sendiri.
"Hmm, gak tua juga kali om." Aku menyandarkan punggungku di kursi rotan minimalis yang selalu aku sukai bentuknya.
"Ayah saja baru ada beberapa yang nongol. Aku gak ketemu Om kan baru setahun ini."
"Om banyak pikiran Put, ngurusin warga. Â Otaknya jadi panas yang memicu timbulnya uban dimana-mana." Tante Emi tertawa renyah.
"Ah, masa sih tante, Om baru beberapa bulan ini kan jadi ketua erte? Ayah aja sudah 9 tahun jadi ketua erwe gak gitu-gitu amat."
Om Ardi adalah adik kandung dari ayahku, baru satu tahun ini ia dinobatkan menjadi ketua erte dimana tidak ada satu warga pun yang bersedia menjabatnya. Â Mungkin kami adalah keluarga yang memiliki gen pelayan masyarakat. Selain Ayah dan om Ardi, Om Geni, adik bungsu mereka kini tengah menjabat sebagai kepala desa.