Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Selamat Tinggal Mey

19 Juni 2016   20:58 Diperbarui: 10 April 2022   04:56 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : id.aliexpress.com

Malam bergelung dalam pelukan sepi. Angin bergerak lembut menyapa dedaunan yang bergelayut mesra diantara ranting-ranting pohon. Tak lama suara alam mulai bermunculan dari segala penjuru mata angin seiring dengan makin pekatnya dunia tanpa cahaya purnama lima belas. Jangkrik mengerik, anak tikus mencicit pedih kehilangan induknya. Daun-daun bambu bergemerisik saling bersentuhan satu sama lain. Embusan udara tipis menyelusup mencari kehangatan dari celah-celah jendela yang tak bisa ditutup secara sempurna.

Ini adalah malam ke lima Rhe tinggal di tempat ini. Tempat dimana ia berharap dapat melepas semua beban yang selama ini membelenggunya. Meninggalkan orang yang sangat ia kasihi demi orang lainnya. Belajar untuk melupakan semua angan yang pernah menenuhi pikirannya.

Rhe memandangi lampu pijar yang bersinar redup di atas kepalanya. Sinarnya yang suram mengingatkannya akan sebuah peristiwa yang terjadi padanya beberapa waktu lalu. Di bawah lampu pijar yang dilindungi sebuah kap bergaya vintage itu lah, awal dari segala peristiwa yang kini membawanya ke tempat ini.

***

Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu. Alisnya yang melengkung bak bulan sabit terangkat ketika ia menatap seluruh penjuru ruangan. Kerutan di sekitar matanya yang menggambarkan goresan masa yang telah ia lalui tak mengurangi wajah ayu yang masih menetap disana.

Wanita itu segera menduduki kursi kosong di samping pot berisi lidah mertua yang tumbuh menjulang melampaui tinggi meja. Tangannya mengayun ke udara. Seorang perempuan muda bersenjatakan notes dan pulpen menghampirinya.

***

Rhe menatap beberapa orang yang tengah sibuk mempersiapkan alat musiknya. Semestinya hari ini adalah jadwal Ronald dan bandnya, seperti halnya yang tertera di layar laptopnya. Namun tempat itu kini di isi oleh teman-teman Jessie. Rhe mendesah, seharusnya ini tak terjadi, tapi begitulah Meyda. Rasa sayang terhadap adik perempuan satu-satunya itu dapat mengalahkan profesionalitas bisnisnya.

***

"Kak Rhe, maaf menganggu. Itu... tante itu... "

Rhe tersenyum kepada Dewi, salah seorang pramusaji kedai kopi milik Meyda dimana ia bekerja sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun