Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Di Sebuah Bangku Semen

10 Februari 2016   14:23 Diperbarui: 11 Februari 2016   02:44 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lara menatap bangku semen itu dari kejauhan, bangku yang selalu menjadi singgasananya yang nyaman. Ia merasa tentram duduk di sana dalam kesendirian. Menikmati desau angin yang membelai belai wajah muramnya dan membaui wangi lembab rerumputan, ditemani sebuah novel yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan.

Suatu hari, semua itu buyar ketika ada seseorang yang berani menduduki bangku semen yang lain di depan singgasananya. Seseorang yang sama sekali asing baginya. Seseorang yang entah datang darimana. Seseorang yang telah merubah singgasana nya yang nyaman kembali menjadi bangku semen seperti sedia kala.

Ia duduk disana. Bersandar di tembok gedung sambil meluruskan kakinya yang terbalut sepatu kets merah dengan warna yang telah memudar. Rambut gondrongnya terlihat acak acakan seperti tidak pernah tersentuh sisir.

Sebenarnya Lara ingin pergi dari sana, tapi egonya mendadak bagai paku paku yang menancapi sekujur kakinya dan memaksanya untuk bertahan di sana. Mempertahankan posisi nyamannya. Lara bergeming.

Pemuda berkets merah itu masih di sana, dengan santai memainkan gelang persahabatannya. Sesekali menggaruk garuk kepalanya yang mungkin tak gatal.
Lara tahu pemuda itu memandanginya, tapi Lara tak sedikit pun ingin balik memandangnya. Lara lalu memegang novelnya erat erat, ia tak ingin pemuda itu menganggu rutinitasnya.
Tiba tiba pemuda berkets merah itu mulai bersuara.
"Ternyata di sini memang enak juga ya untuk nongkrong , pantes aja kamu betah duduk berjam jam di sini." Dia berbicara dengan pandangan lurus ke jalanan kampus yang sepi tanpa sedikitpun menengok ke arah Lara.
Lara meliriknya dengan lirikan kejamnya.

Memangnya siapa kamu yang telah berani beraninya mengobservasiku.

Pemuda itu seakan tak terganggu dengan aksi bisu Lara, ia hanya tersenyum, mengeluarkan rokok putihnya dan mulai menyalakannya dengan sebuah korek api merk ternama.
Lara mendengus kesal, asap rokok selalu menjadi musuhnya. Lara sudah cukup kenyang dengan asap knalpot bis kota dan angkot yang setiap hari mengantarnya ke kampus, ia tak perlu mendapatkan tambahan asap lagi dari orang yang kini duduk bersila di atas bangku semennya.
Lara berkemas dengan segera, meninggalkan pemuda itu dengan asap rokoknya yang mulai mencemari udara sekitarnya.

****
Lara merasa lega, karena siang itu ia tidak melihat si kets merah berada di sana. Itu berarti ia tidak akan mendapat gangguan sedikit pun dari pemuda bertubuh kurus itu. Lara melangkahkan kaki nya dengan ringan ke arah singgasananya, mendaratkan tubuhnya dengan elegan, dan mulai membuka novelnya.

Lara menghisap jus alpukat dari sedotan yang menyembul dari bungkusan plastiknya, sementara ada beberapa tetes air yang membasahi halaman novel nya yang ia usap dengan segera.


Bagi Lara bangku semen itu adalah teman baiknya, teman yang sangat mengerti dirinya. Teman yang tidak pernah berkeluh kesah akan gaya baju, gaya rambut, bahkan gaya berbicara. Teman yang tidak pernah mencurigai dan menyalahkannya.
Teman yang menemaninya secara tulus bukan hanya karena menginginkan sesuatu darinya. Teman yang tidak pernah meninggalkannya demi seseorang lainnya.

Tiba tiba telinga Lara menangkap suara suara gaduh yang berasal dari gedung di seberang tempatnya berada. Lara mendongak kan wajahnya, terlihat banyak orang yang mulai keluar dari gedung itu. Rupanya ada perkuliahan sore yang telah usai. Gelak tawa dan teriakan bersahut sahutan. Sudah lama Lara tidak mengalami hal hal seperti itu. Tawanya telah berganti dengan kemurungan. Teriakannya telah berganti dengan kebisuan. Semuanya karena sebuah pengkhianatan dari orang orang terdekatnya. Lara telah lama mengubur semua kebahagiaannya. Kebahagiaan yang telah mengaburkan semua makna yang ada di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun