Lira duduk diam menatap tumpukan buku yang tertata rapi di emperan gedung peninggalan Belanda itu. Dari buku pelajaran sampai majalah bekas luar negeri yang selalu terlihat menarik di matanya.Â
Ia selalu menyukai tempat itu. Tempat dimana ia bisa membaca dengan santai, membaui lembaran kertas yang telah dimakan usia, dan memborong banyak bacaan dengan harga yang sesuai dengan isi dompetnya.Â
Di tempat itu pula, dulu, ia bertemu seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya namun Lira segera membuang jauh-jauh semua ingatan tentangnya.Â
Ia tak ingin angannya terpenjara. Gadis berambut model shaggy itu pun segera membuka-buka salah satu majalah edisi kadaluarsa yang tetap menarik untuk dibaca. Di antara embusan angin sore yang menyibakkan helai-helai rambutnya perlahan. Di bawah bayang-bayang pohon yang terkadang  menjauh karena kelelahan.Â
Ia senang menatap wajah-wajah ingin tahu yang tetap setia di tempatnya ketika apa yang mereka inginkan belum tergapai lalu beralih ke wajah- wajah puas dengan tentengan di tangan.
Setiap kali ia melangkahkan kakinya ke tempat itu, Â ia selalu teringat akan seseorang. Ingat akan masa-masa di mana dunia hanyalah seputaran "aku dan dia."Â
Masa dimana tangannya selalu berada dalam genggaman hangat seseorang yang disayangi dan menyanyanginya. Â Masa di mana ia merasakan desir-desir halus yang berkelana di dalam lorong-lorong hatinya yang terdalam.
Namun kini semuanya telah hilang. Seseorang yang selalu ditemuinya di tempat ini telah pergi meninggalkannya. Tanpa pesan, tanpa kata-kata. Lenyap di telan tanda-tanya.
***
"Sudah sore, pulang yuk." Seorang pemuda berjongkok di samping Lira. Backpacknya terlihat mengembung karena sarat dengan buku dan majalah yang baru saja ia beli.
Lira mengalihkan tatapannya ke arah pemuda berkulit sawo matang itu, lalu mengangguk. Diraihnya tas plastik berisi majalah yang baru saja ia beli lalu mengibaskan debu yang menempel di celana jeansnya dan beranjak.