Salah satu resep warisan simbah yang kerap saya praktekkan adalah olahan jenang sumsum atau bubur sumsum. Â
Ya, simbah dulu kerap membuat bubur sumsum dengan rasa gurih, manis, dan legit. Â Biasanya bila buburnya sudah nyaris habis, saya pun dengan heroiknya mengoreti atau memakan sisa-sisa bubur yang ada di panci. Â Kegiatan ini memiliki sensasi yang luar biawak eh biasa, heuheu.
Walaupun terlihat mudah, dulu itu persiapan membuat olahan ini agak rumit dan memakan waktu yang cukup lambreta eh lama secara zaman dulu gak ada bahan-bahan instan.
Tepung berasnya harus melalui proses yang lumayan panjang. Beras dicuci, ditiriskan, dijemur, ditumbuk memakai lumpang, lalu diayak. Â Rempong banget, kan?
Belum lagi membuat santannya. Â Kelapanya diparut terlebih dahulu lalu diperas berkali-kali bersama air untuk mendapatkan santan dengan konsistensi yang diinginkan.
Tapi kini, semua itu bisa dilibas dengan bahan-bahan instan. Â Tepung beras sudah ada yang dalam kemasan begitu pula santannya. Â Hal ini sangat mempermudah dan mempercepat proses pembuatan bubur sumsum atau yang juga dikenal dengan bubur lemu.
Bubur sumsum sendiri merupakan olahan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Â Seperti halnya olahan-olahan masakan atau makanan tradisonal lainnya, bubur sumsum memiliki filosofinya tersendiri.
Bubur sumsum dalam acara syukuran atau hajatan dapat menjadi sarana dalam hal mempererat silaturahmi antar masyarakat.
Ya, biasanya dalam acara hajatan, ada tetangga atau saudara yang ikut serta dalam membantu prosesnya. Â Nah, bubur sumsum ini biasanya dibagikan kepada mereka yang telah membantu atau bahasa Jawanya rewang sebagai cara untuk mengembalikan tenaga, penghilang rasa lelah, dan pemberi semangat.
Bubur sumsum pun dipercaya mendatangkan keberkahan dan kesehatan. Â Rasa manis yang berasal dari gula merah dapat mengembalikan energi dan rasa gurih dari tepung berasnya memberi rasa nyaman di mulut dan pencernaan.