Kalau ngomongin tabir surya atau sunscreen jadi inget zaman kulit wajah meletek bagai tanah di musim kemarau nan panjang, tanpa air, tanpa hujan, dan tanpa kamu, Â kering kerontang!
Ya, saat masih unyuk-unyuk saya pernah disetor ke dodik secata rindam 3 Siliwangi di Pangalengan untuk pelatihan bela negara. Â Ish ish ish, Pak Prabs, mohon dicatet yak.
Pangalengan, biar hawanya dingin nan sejuk tapi bila siang hari mataharinya mencorot sekali dan menusuk-nusuk kalbu kulit. Â Dan yang menjadi sasaran keberlimpahan sinar matahari, ya apalagi kalau bukan kulit sekitar wajah. Â Wajah berkerak, bibir mengelupas.
Dulu, boro-boro kepikiran pakai sunscreen, belum kenal dengan segala bentuk skinker. Â Pokoknya kalah deh dengan Pak Komandan yang rajin mengoleskan lip gloss ke bibirnya sebelum apel siang dimulai.
Nah, setelah bekerja, baru deh ya mulai melirik segala bentuk perawatan wajah. Â Tapi, lagi-lagi, sunscreen dianak tirikan. Â Saya pikir sudah pakai pelembab ber-SPF buat apalagi memakai tabir surya, ya kan?
Tapi Fernando, ternyata sunscreen itu sangat perlu loh. Â Buat apa coba?
Sini saya teriakin.
Sunscreen dapat melindungi kulit dari pancaran sinar matahari.  Iya dong, kalau pancaran sinar petromax nanti malah nyanyi "Dateng di kampus bawa buku tebel-tebel."
Sinar matahari atau yellow dwarf star, cie, terdiri dari dua jenis yaitu UVA dan UVB. Â Bila UVA dapat merusak kulit melalui tanda-tanda penuaan dini maka sinar UVB dapat menyebabkan rasa perih dan terbakar serta dapat membuat kulit belang-belang bagai bulunya Marty si kuda zebra Madagascar. Â
Parahnya untuk jangka panjang, paparan sinar UVB ini dapat menyebabkan kanker kulit. Â Nah, fungsi sunscreen itu untuk melindungi kulit dari hal-hal kurang asyem seperti di atas.