"Mau kemana?"
"Ke perpus!"
Percakapan seperti ini kayaknya dah gak zaman lagi ya. Â Ngapain ke perpustakaan bila semua judul buku dapat diakses melalui internet. Â
Gak usah naik turun tangga sampai ngos-ngosan dan betis jadi segede gaban untuk mencari buku yang ingin dibaca. Â Gak usah pakai bahasa isyarat ketika mau mengutarakan sesuatu kepada teman yang duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja kita.
Saya bersahabat dengan perpustakaan sejak zaman SMP, karena zaman SD masih bersahabat dengan loncat tinggi, galah asin, boy-boyan, engklek, dan kerupuk jendil.
Iyes, SD saya dulu masuk ke jajaran SD underground underdog di kabupaten dengan fasilitas yang geje beeng eh gak jelas banget. Â Etapi gitu-gitu juga, SD saya ini pernah ikutan cerdas cermat di TVRI loh, ahahahay shombong!
SD bolehlah di kabupaten, memasuki SMP saatnya melakukan urbanisasi paruh waktu ke kotamadya. Â FYI, SMP saya itu termasuk salah satu SMP favorit loh. Hidih, siapa yang nanya ya!
Ya, namanya SMP favorit, fasilitasnya pun lumayan oke lah ya seperti adanya dokter gigi, masjid, laboratorium, aula bawah tanah, dan tentu saja perpustakaan. Â Eits, tak lupa ada tukang lumpia basah juga.
Nah, perpustakaan SMP ini gak terlalu besar namun memiliki koleksi buku yang dapat memuaskan nafsu membaca saya. Â Entah berapa buku cerita dan komik yang telah saya baca di sana ataupun pinjam ke rumah. Â Pokoknya perpustakaan itu sudah saya jajah dengan masifnya.
Masuk ke perpus ini harus lepas sepatu karena ruangannya diberi karpet agar bisa membaca dengan lesehan dan lama-lama ketiduran, eh.
Suasananya sepi walaupun letaknya berhimpitan dengan kelas-kelas yang memunggungi. Â Tapi, saya gak terlalu suka dengan aroma dari perpustakaan ini. Â Entah hidung saya terlalu sensitif atau memang aroma tujuh rupa yang muasalnya dari luar ruangan terlalu kuat sehingga mengoyak pertahanan saraf olfaktori saya, heaa.