Setidak suka- tidak sukanya orang akan sesuatu kalau tiap hari dibombardir dengan hal itu pasti lama-lama ada aja yang nyangkut di kepala. Kalau dalam bahasa Sundanya mah, cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok, tak iyeuuuhh, laaaaah jadi Madura, heuheu.
Dulu zaman masih belia, saat ego masih ada di puncak kejayaan, telinga saya kerap dibombardir oleh lagu-lagu kesukaan simbah yang bergenre keroncong pidihil sebagai anak mudo, saat itu males banget buat mendengarkan musik "orang tua" tersebut.
Ya, keroncong itu kan identik dengan orang tua karena musiknya yang membuai, selow, dan mendayu merdu. Nah, simbah biasanya mendengarkan lagu-lagu itu dari kaset yang disetel di compo bertajuk Asapoliteron nya. Â Kasetnya cuma beberapa biji sih, tapi hebatnya walaupun diputer bolak-balik, sang pita kaset gak pernah kusyut. Â
Bagi simbah mendengarkan lagu-lagu keroncong sudah merupakan rutinitas tersendiri. Tak hanya mendengarkan namun beliau pun kerap ikut berdendang. Â Biasanya aktivitas mendengarkan musik keroncong ini disambi dengan membuat sesuatu, entah membuat makanan atau pun menjahit kebaya kutu baru.
Dulu saya tahunya penyanyi keroncong itu mas, mbak, pakde, bude, Â dengan tampilan, nama, dan wajah jawa, maka dalam pikiran saya sudah terpatri bahwa keroncong itu ya musik yang datang dari daerah Jawa. Â Namun nyatanya genre musik bercita rasa tinggi ini merupakan bentuk persilangan antara musik barat dan timur.
Kabarnya keberadaan keroncong di Indonesia dibawa oleh orang-orang Mestizos (keturunan pelaut Portugis yang menikah dengan penduduk lokal yang menjadi koloni mereka) ke Batavia khususnya Kampung Tugu. Sebagai kaum minoritas di Batavia, mereka kerap rindu kampung halamannya. Â Nah, untuk mengobati rasa rindunya mereka pun memainkan musik untuk menghibur hati yang hampa.
Berbekal sebuah gitar kecil bernama Cavaquinho, mereka pun dengan riang gembira menghasilkan komposisi-komposisi indah yang kelak menjadi cikal-bakal berdirinya orkes Keroncong Tugu. Â Orkes ini merupakan salah satu usaha menjaga identitas keroncong khas Kampung Tugu karena nyatanya musik ini mulai tersebar kemana-mana. Â Mereka memiliki pakem sendiri dengan tambahan alat musik yang dimainkan seperti rebana, gendang, angklung, suling, dan biola.
Saya sendiri mengenal keroncong dari para penyanyi asal Jawa seperti Pak Gesang, Mas Mus Mulyadi, Mbak Sundari Soekotjo, Bu Tuti Maryati Tri Sedya, dan Bude Waldjinah.
Alat musik yang digunakan pada musik keroncong versi Jawa ini umumnya seputar gitar akustik, bass, ukulele, suling, biola, cello, dan kontrabas. Â
Keroncong yang mulai dikenal secara resmi di Indonesia sejak tahun 1880 itu sudah melewati 4 fase, yaitu keroncong tempoe doloe (1880-1920), keroncong abadi (1920-1960), keconcong modern (1960-2000), dan keroncong milenium (2000-sekarang) demikian menurut pakar keroncong, Sunarto Joyopuspito.
Nah, karena masa kecil sampai remaja saya diisi dengan dendangan lagu keroncong yang kerap didengarkan simbah, maka saya pun akhirnya memiliki lagu-lagu keroncong favorit sepanjang masa.
1. Â Saputangan. Â
Lagu ciptaan Pak Gesang ini liriknya sangat sederhana, berkisah tentang saputangan kenang-kenangan dari kekasih. Â Sepertinya ini semacam kisah nyatanya Pak Gesang karena saputangan tersebut ada fisiknya, demikian seperti yang dituturkan oleh Mbak Sundari Soekotjo.