Rak buku di rumah sudah agak mendoyong karena kelebihan beban dan salah satu muatannya adalah tumpukan komik Jepang punya teman satu kontrakan dulu.
Ya, ketika kami membubarkan diri dari rumah kontrakan tersebut, dia yang namanya tak boleh disebut meninggalkan koleksi komik Jepangnya begitu saja di penjuru ruang tamu. Â Saya pun merasa iba dengan nasib komik-komik itu akhirnya saya angkut ke rumah dengan harapan bisa jadi pelipur lara ketika tak ada bacaan di kemudian hari.
Namun, harapan saya pupus karena barisan komik tersebut gak ada yang utuh dalam satu kisah, alias judulnya banyak tapi seriannya gak lengkap. Ah, mati gaya.
Sejak kecil saya suka membaca komik. Bapak saya dulu kerap membelikan buku komik bekas, majalah, atau dapat limpahan buku-buku dari keponakannya yang telah beranjak dewasa. Â Komik adalah pengalaman pertama saya membaca kisah-kisah fiksi. Â
Di dunia ini komik mulai ada sejak abad ke-19, salah satu pionirnya adalah Richard Outcault yang membuat komik berjudul "The Yellow Kid in McFadden's Flats" dengan nuansa gambar hitam putih. Â
Akan halnya di Indonesia, komik mulai ada sekitar tahun 1930-an, namun masih berupa komik strip yang tayang di surat kabar atau majalah. Dua puluh tahun berlalu, komik berbentuk buku pun mulai menyapa penggemarnya.
Kota Bandung digadang-gadang sebagai salah satu perintis penerbitan buku komik. Â Ada dua penerbit buku komik yang sangat terkenal yaitu penerbit Melodie dan Maranatha. Â Bila penerbit Melodie memiliki komik unggulan bertajuk Sri Asih karya R.A. Kosasih, maka penerbit Maranatha memiliki Petruk dan Gareng karya Tatang S dan kisah-kisah HC Â Andersen.
Walaupun saya menyukai komik tapi saya jarang membeli komik keluaran baru. Â Komik edisi baru yang terakhir saya beli adalah Samurai X karya Nobuhiro Watsuki belasan tahun yang lalu.
Nah, karena kemarin Mas Handy ingin bernostalgia dengan komik jadul maka kali ini saya mau mengenang kembali komik-komik yang pernah saya baca saat masih unyuk-unyuk dulu.
1. Â Deni Manusia Ikan.