Pada suatu masa saya pernah melakukan perbuatan tak terpuji yaitu mencomot daun pisang milik tetangga belakang rumah.
Buat apa? Ya buat ngebungkus lah, tapi bukan kayak Mas-mas yang kemarin ini terkenal dengan kegiatan bungkus-membungkus dengan kain jariknya itu ya, ealah.
Kala itu saya ingin membuat lontong tapi males pergi ke pasar. Melihat lambaian daun pisang di atas genteng, jiwa kriminil heroik saya pun memberontak. Lalu tanpa babibu naiklah saya ke genteng, clingkrak-clingkrik, sret-sret, dan secepat kilat turun dengan beberapa pelepah daun pisang.
Eeeh saya sudah bilang dulu lo ya ke  Bapak-Ibu tetangga, tapi mereka gak denger lha wong pada sibuk ngajar di sekolah je, hanya saya dan ayam-ayamnya yang sibuk jadi pengacara, pengangguran banyak acara.
Saya biasanya membuat lontong tanpa isi sebagai pengganti nasi untuk menu opor dan kari. Ya, dua olahan ini memang cucok meong bila disandingkan dengan lontong.
Lontong memiliki sejarahnya sendiri di bumi pertiwi dan telah dikenal sejak zamannya Sunan Kalijaga. Â Sama dengan ketupat, lontong terbuat dari beras namun yang membedakan adalah jenis bungkusnya.
Bila ketupat menggunakan janur atau daun kelapa yang masih muda maka lontong dibungkus dengan daun pisang. Â Tu kan daun pisang itu banyak manfaatnya gak hanya dijadikan payung oleh Ine Shyntia dan Solid Ag di lagu "Memori Daun Pisang" aja, heaaa.
Nah, karena membuat ketupat memiliki keribetan tingkat dewa secara tak semua daerah ada pohon nyiur melambai, ditambah harus membuat kelontong janurnya yang musingin bagai kotak rubik itu maka muncul lah ide membuat lontong. Â Begitu kira-kira asal muasalnya sang bango lontong.
Biarpun beda baju yang penting beras tetap bersatu padu, ye kan bund.
Pada dasarnya membuat lontong pakai plastik juga bisa, tapi rasanya jadi keinget terus sama wajah-wajah selebritis Korea Selatan, haih, gak tega akutuuuu.
Selain karena daun pisang yang belum tentu ada, memasak lontong itu membutuhkan waktu yang lumayan lama jadi suka bikin males buat mengeksekusinya.