Ketika aku kecil, aku pernah memiliki tetangga bernama Pak Slamet. Â Bukan Pak Slamet yang menemani Neil Amstrong pergi ke bulan tapi hanya Pak Slamet. Seorang lelaki biasa yang memiliki rumah panggung dengan halaman yang luas dan dipenuhi dengan pepohonan rindang.
Aku dan ibu kerap menyambanginya untuk sekedar bersilahturahmi atau menarik iuran bulanan. Â Aku suka sekali berlama-lama duduk di lantai rumah panggungnya yang terbuat dari papan kayu yang telah licin bak batu marmer sambil menikmati segelas teh tubruk hangat dengan sensasi aroma sangit kayu bakar.
Namun ada beberapa hal yang  pernah membuat aku merinding akan keberadaan tetanggaku itu, salah satunya adalah bila gigi ku sakit.  Istri Pak Slamet memiliki kemampuan untuk menyembuhkan sakit gigi akibat berlubang dengan cara tradisional. Ia akan memerintahkan pasiennya berkumur dengan segelas air yang telah diberi ramuan rahasia, lalu dengan senjata berupa sedotan ia akan menyedot keluar mahluk-mahluk kecil yang bersemayam di keropok gigi. Â
Hal inilah yang membuatku ngeri karena membayangkan ulat-ulat kecil itu menari-nari di atas piring yang telah disediakan sebelumnya. Â Oleh sebab itu aku lebih memilih diam bila aku sakit gigi. Â Merengek hanya akan membuat nasibku berada di ujung tanduk kengerian.
Pak Slamet memiliki banyak sekali hewan ternak, dari yang umum seperti ayam, bebek, dan itik sampai yang tidak umum layaknya kalkun. Â Hewan yang kerap digunakan sebagai hidangan thanks giving di negeri Paman Sam itu memiliki suara yang merdu walau tak semerdu suara Lord Didi Kempot.Â
Kuluk-kuluk begitu alunan nada-nada indah yang keluar dari mulut hewan yang memiliki rentang sayap sampai 1,8 meter itu. Namun entah mengapa aku selalu takut bila berhadapan dengan mereka. Aku tak mau masuk ke halaman rumah Pak Slamet bila ia tengah menggembala kalkun-kalkunnya. Â Para kalkun itu telah menggerogoti keberanianku diantara rentangan sayap, langkah kaki, dan tatapan mengancam yang membuat ludahku kuteguk lagi.
Selain hewan Pak Slamet pun memiliki banyak jenis tanaman. Â Aku selalu dimanjakan oleh pohon arben yang tumbuh memagari rumahnya. Â Aku kerap mencecap manisnya gumpalan buah arbei yang menghitam tanda telah matang sambil memandangi pohon jambu kelutuk yang tengah berbunga.Â
Pagar tumbuhan Pak Slamet adalah surga bagi aku dan teman-temanku. Â Semua yang kami butuhkan ada disana, dari bunga kembang sepatu, pohon mlandingan, baluntas, sampai tumbuhan parasit bagaikan mie yang kerap kami pakai untuk bermain masak-masakan.
Namun ada pula pohon yang membuatku ngeri. Â Bukan pohon beringin yang kerap disinggahi kerabat jin dan setan jadi-jadian namun pohon alpukat kembar. Â Buahnya yang pulen tidak serta merta mengobati kengerianku akan gerombolan ulat yang kerap memenuhi seluruh batang dan dahan dua pohon alpukat itu. Â
Ulat-ulat bulu bermotif belang hitam, kelabu dan merah merona itu selalu membuatku terpontal-pontal ketika harus melewati dua pohon yang berdiri gagah di halaman Pak Slamet itu. Â
Malam hari menjadi momok tersendiri bagiku, karena aku harus berjalan dibawah pohon alpukat itu untuk pulang pergi mengaji. Â Berlari tanpa lihat sana-sini adalah caraku untuk menghindari ulat-ulat bulu yang kadang jatuh bebas dari pohon alpukat itu.