Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Romantika Hidup Bertetangga

2 Juli 2019   10:01 Diperbarui: 2 Juli 2019   14:43 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Getty Images

Hidup bertetangga itu mutlak. Jangankan umat manusia yang mendiami RT 4 dengan jumlah Rukun Tetangga 2, Tarzan saja yang hidup di hutan punya tetangga kok walaupun tidak berspesies sama, apalagi Tarsan Srimulat pasti tetangganya banyak. Ya, sebagai mahluk sosial yang diturunkan oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi nan bulat ini manusia sejatinya tidak dapat hidup sendiri.

Karena manusia diciptakan berbeda maka tiap-tiap tetangga pun memiliki perbedaan, pasti dong ya, embek sama kuda aja beda. Bisalah satu frekuensi tapi tetap saja ada unsur kemrosoknya bagai gelombang radio AM, SW, MW, BW, eeeehhhh.

Nah, sebagai penghuni kampung yang letaknya bersebelahan dengan lubang hitam di gugusan galaksi bimasakti ini, saya memiliki tetangga-tetangga yang sedikit gimanaaaa gitu. Ada yang hobi sekali meminjam dan meminta. 

Ya, bagaikan toko serba ada, tetangga saya yang satu ini bila membutuhkan segala sesuatu pasti parkir dengan manis di rumah saya. Dan dhilalah kebanyakan barang yang ia butuhkan selalu ada. Gak bisa bilang gak ada kan? Takut dosa.

Tetangga saya yang hobi bermain kata-kata ini kerap meminta nasi buat ayam-ayamnya, sosin buat burung-burungnya, mie instan dan ikan asin buat dirinya dan lain sebagainya. Pinjam barang? Tentu saja, ada palu beserta pakunya, solder beserta timahnya, gergaji beserta tripleknya, gunting beserta solasinya, baygon beserta isinya, sampai helm beserta kepalanya *eh.

Ada lagi tetangga yang sedikit aneh, minta pisang yang masih ada di pohonnya ke rumah saya. Emang apa anehnya? Ya iya aneh, lha wong pohon pisangnya bukan punya saya tapi punya tetangga belakang rumah je, tapi berhubung itu onggokan pisang kelutuk bisa diraih dengan mudah dari rumah saya dia pun berinisiatip membawa golok dan berkata. "Mbaaak, saya mau ambil pisangnya yaaa." Wekekek speechless.

Ada lagi yang hobi membunyikan klakson ketika pulang kerja demi terbukanya pintu pagar rumahnya, bising bagaikan tukang cilok yang menjajakan dagangannya. Sepertinya bila DJ Dinar Candy jadi tetangganya alunan klakson itu pasti bisa dijadiin lagu buat ajojing, ckiitt...ckiiiiitt... teeettt...teettt....

Beliaunya ini juga kerap titip jemur sepatu di teras saya, untung aja gak minta disemirin, disol-in, dan dipakein. Di samping itu kerap pula ia mengomentari apa yang saya lakukan, perpustakaan kata di kepalanya sepertinya ingin berlomba-lomba untuk mengeksiskan diri. Kalau sudah begini, saya mah hanya bisa nyengir kuda saja.

Ada pula tetangga yang hobinya menjadi mandor. Memberi perintah kepada para tukang yang tengah memperbaiki sesuatu di rumah padahal ngegaji aja enggak. Tapi yang ini mah sudah insyaf deng, karena satu dan lain hal. Kalau tetangga yang hobi gosip dan kepo-an mah jangan ditanya lah, itu sudah terlalu mainstream, dan bisa dihadapi dengan telinga yang disumpali earphone sambil nyetel lagunya Metallica.
Hush little baby, don't say a word
And never mind that noise you heard
It's just the beasts under your bed
In your closet, in your head

Terlepas dari menyebalkan dan anehnya para tetangga yang kita punya, kedudukan tetangga tetaplah menjadi nomor satu dalam kehidupan kita (kita? Saya aja kalik). Mengapa? Karena bila ada hal-hal mendesak, yang kita hubungi pertama kali pasti para tetangga dekat. Merekalah yang akan membukakan pintu pertolongan pertama kepada kita bukan kerabat apalagi bila kerabatnya hidup di Alaska.

Dan menyenangkan atau menyebalkannya seorang tetangga itu tergantung sudut pandang aja kok. Bila ada tetangga yang tingkahnya menyebalkan, coba cari unsur komedinya, pasti ada lah, lha wong komedi aja ada yang black kok, pasti menyebalkan juga ada komedinya, bukan begitu Kang Eddie? Dan Kang Eddi Vedder pun menjawab: cucucucucururuuutttttt.

Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun