Ada yang berkelakar bahwa bersamaan dengan rilisnya album Gorillaz yang bertajuk "The Now Now",  di suatu tempat  entah Inggris atau Islandia, Graham Coxon tengah menangisi nasibnya karena Damon Albarn pentolan Blur yang juga merupakan frontman band virtual Gorillaz  telah memastikan bahwa Blur akan tetap vakum sampai waktu yang belum ditentukan.  Eits, tapi tunggu dulu, ternyata Graham Leslie Coxon gitaris band Britpop 'Blur' ini alih alih meratapi nasibnya malah melejit dengan proyek-proyek solo yang dilihat dari jumlahnya menandakan bahwa pria yang kini berusia 49 tahun itu sangatlah produktif dan ngapain juga harus nangis-nangis bombay, ya kaaaan?
Ya, pria yang lahir di Jerman ini telah merilis tiga album solo ketika masih berada dibawah bendera Blur yang masing-masing berjudul The Sky Is Too High, The Golden D, dan Crow Sit on Blood Tree.  Setelah Blur resmi vakum, dia yang membuat saya jatuh hati karena senyum malu-malunya di video klip "Tender" itu merilis lima album yang berjudul The Kiss of Morning, Happiness in Magazines, Love Travels at Illegal Speeds, The Spinning Top, dan A+E .
Nah, pada awal tahun 2018, musisi multi instrumentalis ini mengerjakan proyek music score untuk sebuah film serial yang tayang di Netflix dengan judul "The End of The F***king World'. Â Music score untuk film remaja ini merupakan proyek perdananya. Â Album soundtracknya sendiri rilis pada bulan Januari silam.
"The End of The F***king World" merupakan serial bergenre dark comedy yang diperankan oleh Alex Lawther dan Jessica Barden. Â Kisahnya diangkat dari novel grafis yang ditulis oleh Charles S. Forsman dengan judul yang sama. Â Film ini mengisahkan dua remaja aneh yang tengah mencari jatidiri dalam sebuah pelarian. Bila si pemuda yang bernama James melabeli dirinya sebagai seorang psikopat yang ingin naik level maka Alyssa, sang gadis, memilki sikap yang cenderung seenaknya serta sangat moody. Â Serial ini dapat dimasukan sebagai salah satu kisah remaja yang aneh, menggemaskan sekaligus mengerikan. Â Dan Graham Coxon sukses memberi tekstur emosional dengan musiknya yang ringan, gloomy, naik turun, bahkan datar sekalipun.Â
Dalam album ini ada beberapa lagu instrumental yang cukup menarik semisal The Beach yang berhias suara burung camar, The Snares yang mengedepankan permainan gitar elektik dengan hentakan drum yang saling mengisi.  Akan halnya Field memiliki bebunyian nan indah dari hasil gesekan jemari yang berpindah chord.  Dan nomor  Sleuth adalah salah satu nomor yang mengingatkan saya akan Coffee and TV selain Lucifers Behind Me yang bertema gelap dengan rasa yang terburu-buru.
Lalu ada On The Prowl yang dibawakan Coxon dengan aroma rock and roll berhias solo gitar yang aduhai. She Left The Light On sebaliknya, memberi  secercah cahaya dalam kesuraman berhias siulan-siulan yang unik.
Saturday Night, In My Room, It's All Blue, Roaming Star, dan There's Something In The Way That You Cry adalah lima lagu balad yang menggenapi tone kelam nan kelabu dari kisah ini.  Suara datar dan mengambang dari pria yang diberi predikat sebagai gitaris paling berbakat pada zamannya oleh frontman Oasis, Noel Gallagher itu adalah kekuatan dari lagu-lagu balad yang ia bawakan.
Graham Coxon memang dikenal sebagai gitaris multitalenta yang kurang peduli dengan citra, gaya, dan keberanian menampilkan diri. Mungkin ia adalah satu dari sedikit gitaris yang memiliki karakter seperti ini, namun dengan segala sifat introvert-nya itu musisi yang juga merupakan seorang pelukis ini telah membuktikan bahwa ia dapat menghasilkan karya-karya yang mengagumkan dan salah satunya terpapar dalam album "The End of The F***ing World" ini.
Sekian.
Referensi : Â ConsequenceofSounds, Independent, Medium, NME, Pitchfork, dan Wikipedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H