Per hari ini harga telur ayam negeri di warung terdekat tembus di angka 29 ribu rupiah perkilogramnya. Sebuah angka yang spektakuler mengingat sebelumnya berada di angka 22 sampai di harga tertingginya yaitu 25 ribu rupiah, itu pun saat menjelang lebaran yang mana dimana anak kambing saya eeehhh dimana jelang lebaran semuanya mendadak kena tuslah gak hanya tarif transportasi umum saja.
Sebagai emak-emak yang sangat mencintai telur karena sisi kepraktisan ketika dimasak maka saya pun bertanya-tanya kepada diri sendiri mengapa hal ini bisa terjadi, karena bertanya kepada rumput yang bergoyang terlalu mainstream, bertanya kepada bu erte nanti malu karena belum bayar uang arisan, bertanya ke mamang Cuanki, dianya malah nanya balik "Bade naon wae, Neng?"
Dilihat dari kacamata cengdem emak-emak, naiknya harga telur ini dipengaruhi oleh beberapa hal mustahal, diantaranya adalah :
Pertama, ketersediaan stok yang menipis. Ya, menjelang lebaran, barisan telur ayam ini dihajar habis-habisan dalam rangka pengayaan kue-kue dan hidangan lebaran lainnya. Entah berapa banyak telur ayam yang bersumbangsih atas kesukariaan lebaran, yang pasti buanyaaaak sekali.Â
Para ayam pun kerja rodi dibuatnya. Kerja siang malam bagai kuda, padahal kuda aja gak gitu-gitu amat. Dan efeknya, mereka lelah. Barisan ayam pun perlu istirahat, menikmati debur ombak di pantai, berendam di kolam air hangat, WiFi-an di taman, nongki-nongki sambil ngopi, ya pokoknya meliburkan diri lah. Alhasil setelah lebaran stok telur pun merosot drastis dan harga pun naik secara otomatis.
Yang kedua adalah menguatnya nilai dollar terhadap rupiah. Owh, telurnya impor ya? Bukan telurnya tapi pakannya terutama konsentratnya. Selain pakan ada juga bibit-bibit ayam tertentu yang didatangkan dari luar negeri sana. Entah bibit ayam yang bagaimana, mungkin jenis ayam branded yang memang disukai oleh kalangan penggila merk.Â
Harga pakan naik, ya mau tak mau harga telur dan daging ayam pun ikut naik. FYI, harga daging ayam saat ini masih nangkring manis manjah syantiek di angka 40 ribu rupiah yang sebelumnya hanya berkisar antara 30 sampai 34 ribu rupiah saja.
Dan yang ketiga adalah ulah para distributor nakal. Ya, gak hanya merk T-shirt aja yang boleh "n[a]kal" tapi juga para penggeruk keuntungan yang luar biasa aduhai itu, hih. Mereka memenjarakan telur-telur ayam tanpa di BAP terlebih dahulu di dalam gudang-gudangnya yang sebesar kapal induk USS Gerald Ford dan akan merilisnya ketika harga telur di pasaran melonjak naik. Sedaapnyaaa.
Sebagai konsumen kelas gurem, saya ya hanya bisa menerima keadaan ini dengan lapang dada dan tentu saja berbalut rasa empati yang tebal setebal surat dakwaan yang mulia yang kini tengah ngadem di bui karena kasus korupsi. Empati? Yap, kita harus memperbanyak rasa empati daripada mengelus-elus pantat wajan yang tak jua berseri.
Marilah kita berempati kepada ayam yang lelah bertelur terus-menerus tanpa henti, berempati kepada para pakar pakan ternak domestik yang tengah ngasngesngos merumuskan bahan pengganti pakan ternak impor berupa bungkil kedelai, daging, tulang, minyak ikan, corn gluten meal, serta premik atau pakan adiktif yang belum bisa di produksi di dalam negeri sampai detik ini.Â
Tak lupa marilah kita berempati kepada para distributor nakal yang kurang piknik sehingga membutuhkan dana begitu banyak demi keinginannya berkeliling dunia serta berfoya-foya bagai pemilik salah satu biro perjalanan yang kini tengah anteng di balik jeruji penjara.