Saya merasa geli ketika ada orang yang inginnya selalu seragaman dalam bergaul. Dimana saja, dengan siapa, semalam berbuat apa, eh Yolanda itu mah. Kok Yolanda terus ya, jangan-jangan saya sudah auto-ngefans sama Babang tamvan haha. Â
Maksudnya seragaman dalam hal pemikiran, prinsip, agama, ras, strata sosial, warna kulit, model rambut, bau kaki, bentuk alis, merk tas, genre musik, dan lain sebagainya. Gak mau menyatu kalau gak seragam.Â
Gak mau temenan kalau gak seragam. Menutup diri, gak friendly, negative thinking, selalu curiga yang berakhir berdiam diri dipojokan, ketap ketip, lirak lirik dan hap lalu di tangkap, ah dasar kau cicak. Saya gak habis pikir saja dengan orang yang seperti itu, bagaimana mau berteman dengan Optimus Prime, Bumblebee, Ironhide atau E.T? Dengan yang jumlah kromosomnya sama saja balik badan maju jalan. Sedih sih mendapati kenyataan bahwa ada yang seperti itu, karena bagi saya, berteman itu gak harus pandang bulu. Cukupi sampai disini penderitaan sang bulu yang telah dicabuti, dipisahkan dengan biangnya, diwarnai, lalu diikat jadi kemoceng.  Hmm, kasian ya sang bulu yang selalu jadi kambing hitam.
Ketika tak satu suku langsung alergi.
Ketika tak satu agama langsung di curigai.
Ketika tak satu ras langsung undur diri.
Ketika tak satu golongan langsung sakit gigi.
Bagi saya itu sama saja dengan mengingkari penciptaan manusia yang berbeda-beda oleh yang maha kuasa.
Salah satu sahabat terbaik saya adalah seorang protestan tionghoa. Dia adalah salah satu sahabat yang selalu ada. Saya merasa perlu berkisah tentangnya, agar dunia tahu, bahwa sebuah ikatan persahabatan tak layak untuk dinodai dengan hal-hal yang berbau SARA.
Kami tak pernah bicara menyinggung agama dan suku kami yang sangat berbeda. Karena agama adalah domain masing-masing pribadi. Suku? Ras? Ah zaman apa sekarang? Kuda gigit besi? Â Kita itu sama, sama-sama manusia. Sama-sama live under the same sun seperti yang didendangkan Klaus Maine, ketua genk Scorpion. Matahari saya adalah juga matahari anda, kecuali anda hidup di luar tata surya terjebak di lubang cacing yang belum terbasmi oleh c*mbantrin.
Sahabat saya yang satu ini penuh dengan toleransi. Saat saya telat datang karena tertimpa kemacetan, dia senyumin. Saya mengerjakan kewajiban bersyukur kepada Tuhan, dia tungguin. Saya curhat tetek-bengek yang gak ada ujung pangkal, dia dengerin.Â
Saya tidur di bis kota, ternyata dia sudah ngeduluin haha. Salah satu hal yang selalu saya ingat akan sahabat saya ini adalah bagaimana dia membuat saya sadar untuk selalu berdoa ketika akan melakukan sesuatu, misalnya ketika akan makan. Bukan dengan suruhan "Berdo'a dulu, cyiiinn!"Â melainkan dengan perbuatan.
Saya bersyukur kepada Tuhan karena telah mengirimkan seorang sahabat yang baik diantara banyak perbedaan. Dengan adanya sahabat dan teman yang beragam, pikiran saya jadi terbuka, gak cupet lagi, dan gak hanya bergelung dengan "ke-aku-an".
Sesungguhnya Tuhan menciptakan segala perbedaan di dunia ini agar kita dapat belajar menjadi manusia-manusia yang penuh kasih dan saling menghargai. Karena perbedaan bukanlah untuk di musuhi dan diperdebatkan namun untuk di dekap dalam pelukan hangat kemanusiaan.