Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Song Book

30 Juli 2016   21:13 Diperbarui: 30 Juli 2016   22:06 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : www.photocase.com

Buku itu tergeletak diantara buku buku klasik lainnya. Rangkaian huruf haiku's script bertinta silver membentuk kata song book tercetak indah di covernya yang berwarna sephia. Billy menyelipkan rambut gondrong nya yang menjuntai di pipi ke telinganya. Matanya terpaku pada buku bercover tebal itu. Billy menyukai toko buku ini dimana ia sering mendapatkan banyak buku yang memberinya inspirasi. Sebagai seorang frontman dari sebuah band yang didirikannya, ia harus memiliki banyak referensi demi lagu lagu yang di tulisnya. Hari ini adalah hari tersuntuk baginya, betapa tidak, tengat waktu pembuatan album barunya tinggal satu bulan lagi sedangkan ia dan teman teman band nya belum berbuat apapun. Pihak label telah berteriak nyaring memperingkatkannya. Alih alih bergerak cepat, Billy justru diam di tempat. Ia tengah di landa writer's block, dan hal itu membuatnya merana.  Sementara itu pertengkaran demi pertengkaran dengan anggota band lainnya semakin menjadi yang di sebabkan  perbedaan pendapat dari penentuan waktu latihan, isi album, genre, sampai tuduhan egois yang di layangkan kepada Billy. Dan hal itu membuat Billy semakin suntuk saja.

Setiap hari Billy membiarkan dirinya terpaku di depan layar komputer, berselancar kesana kemari, memantengi you tube dan berkunjung ke situs situs band terkenal demi mendapatkan inspirasi. Namun semua usahanya kandas, otaknya seakan kosong tak ingin di isi apa apa.

Demi menyegarkan kembali pikirannya, ia memutuskan untuk berjalan jalan ke taman kota. Namun tanpa di nyana kaki nya malah mengajak nya melangkah ke toko buku ini.

"Bagaimana nasib album baru kalian?" Kasir merangkap pemilik toko buku bernama Yelena itu bertanya, senyumnya mengembang.

"Buntu. Lack of inspiration." jawab Billy lemah.

"Semangat dong, mudah mudahan buku ini bisa memberi kamu inspirasi dan album kalian selesai pada waktu nya.  Aku sudah tak sabar mendengarkan sesuatu yang baru dari kalian."

"Makasih ya Ye, semoga saja." Billy tersenyum.

"Eh Bil, tunggu,”

Billy menghentikan langkahnya seketika.

“Buku itu satu paket dengan pena ini." Yelena mengacungkan sebuah pena klasik.

Billy mengeryit. "O ya? Buat apa?"

"Aku juga gak tahu, tapi ini memang satu paketan sama bukunya."

"Oh ya sudah, thanks ya Ye."

"Sama sama, datang kembali." Yelena melambaikan tangannya mengiringi kepergian Billy dari toko itu.

***

Billy memandangi buku yang kini ada di pangkuannya. Buku ini pasti di cetak di suatu masa dimana internet belum merajalela seperti sekarang ini, begitu pikir Billy. Ia pun membolak balik halaman muka, namun ia tidak menemukan tahun cetak dan siapa yang menulis buku itu.

Mungkin ini adalah buku yang di buat untuk kalangan sendiri.

Billy membuka lembaran selanjutnya, terpampanglah sebuah judul lagu yang di ikuti dengan lirik beserta chordnya. Dengan sigap Billy meraih gitar akustik rosewood kesayangannya. Di bagian chorus ia menemukan ruang kosong yang harusnya di isi oleh chord D.  Billy celingukan mencari pulpen untuk menambahkan huruf D di atas barisan kalimat lagu itu. Lalu matanya pun menangkap pena bawaan buku itu, yang ia ambil segera. Dengan hati hati, ia pun menuliskan huruf D di tempat semestinya.  Namun sekonyong konyong Billy merasa bagai di tarik oleh sebuah pusaran yang sangat dahsyat. Ia melewati sebuah lorong yang di penuhi dengan cahaya aneka warna. Ia melaju pada kecepatan yang luar biasa. Billy berteriak namun tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya. Lalu tiba tiba, semuanya melambat, kini telinganya mendengar suara suara ramai yang di selingi dengan alunan lagu yang tengah ia bawakan tadi.

We can't go on together

With suspicious minds (suspicious minds)

And we can't build our dreams

On suspicious minds

Billy ternganga, kini ia berada di barisan terdepan penonton konser Elvis Presley di Las Vegas. Sang Raja Rock and Roll itu terlihat sangat menawan dengan penampilan khasnya berupa celana cutbray dan rambut klimis. Billy tertawa senang, ia menolehkan kepalanya kiri, kanan, depan dan belakang. Lalu ia pun mulai mengamati semua detil penampilan dari solois yang jaya sekitar tahun 1950 an itu.

“Ini luar biasa.” Teriaknya.

Namun sesaat setelah konser usai, Billy kebingungan bagaimana caranya ia kembali ke kamarnya. Ia pun membolak balikan buku itu, membuka menutupnya, mengibas ngibaskannya. Tapi tak ada yang terjadi. Lalu ia memandangi pena yang masih ada di tangannya, di ujung atas pena itu terlihat sesuatu yang menyembul.

“Ini dia, penghapus tinta.” Billy berkata gembira. Dengan hati hati, ia hapus huruf D yang sebelumnya di tulis sana, dan tanpa aba aba Billy pun meluncur kembali ke tahun 2028, dunianya saat ini.

***

Bukan main senangnya Billy karena pengalaman pertamanya tadi.  Dengan semangat Billy membuka lembaran baru dari buku itu. Kini Ia tercengang, matanya membelalak, namun jari nya tetap saja menyentuh senar baja gitar berwarna coklat itu.

Nobody wants him

They just turn their heads

Nobody helps him

Now he has his revenge

Billy mematung memandang Ozzy Osbourne di atas sana yang tengah mengumandangkan Iron man, sebuah lagu milik Black Sabbath yang terkenal di era 70 an.

Aku mempunyai band, namun kemana teman teman ku itu ketika aku membutuhkan mereka. Apakah aku pemimpin yang buruk bagi mereka?

Billy menghembuskan nafasnya. Kini matanya menatap nanar ke panggung pertunjukan yang ada di hadapannya. Sang raja heavy metal itu kini sedang mempertontonkan kegerian di atas sana. Billy mual, ia pun menghapus chord yang ia tulis sebelumnya.  

***

Setelah menghilangkan pikiran pikiran buruknya tentang kelakuan Osbourne di atas pentas, Billy mulai membuka lembaran baru dari buku itu.

Billy terlempar ke tahun 1965 dimana The Beatles tengah mengadakan konser di sebuah kota di Amerika. Para gadis dengan dandanan klasik berteriak teriak histeris diantara alunan musik sederhana yang di mainkan oleh Ringgo Starr, George Harrison, Paul Mc Cartney dan John Lennon. Sejenak ia tertegun dengan lirik lagu yang di bawan oleh band dari Inggris itu.

Life is very short, and there's no time

For fussing and fighting, my friend

“Yeah, we can work it out, teman.” Billy bergumam.

Setelah istirahat beberapa saat, karena penasaran akan buku itu, Billy pun melanjutkan membuka lembar selanjutnya. Sebuah judul lagu membuat keningnya berkerut dan bertanya tanya kembali akan siapa penulis dari buku itu. Karena kini di hadapannya terpampang sebuah lagu yang membuat Billy tertawa geli. Seumur umur ia belum pernah menyanyikan genre lagu itu.

Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga

Hai begitulah kata para pujangga

Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga

Hai begitulah kata para pujangga

Aduhai begitulah para pujangga

Taman suram tanpa bunga

Billy termanggu dengan kata kata yang meluncur dari Raja Dangdut Rhoma Irama yang selalu terlihat kompak di pentas dengan jajaran band nya, Soneta.

Hmm, selama ini mungkin benar apa yang di katakan oleh teman teman ku, bahwa aku egois. Aku harus mulai melihat ke dalam diriku sendiri. Aku mencintai kalian teman temanku. Tanpa kalian aku tak akan menjadi aku yang sekarang ini.

Billy tersenyum, tangannya sibuk menghapus huruf yang mesti di hapus.

***

Perjalanan lintas waktu itu sangat melelahkannya, entah telah berapa gelas air putih yang ia teguk. Namun Billy terlalu bergairah untuk melanjutkan perjalanan menyambangi konser para penyanyi atau pun band yang tenar di jamannya secara langsung, bukan melalui you tube seperti yang sering ia lakukan selama ini.

Di halaman baru buku itu kini, ada sebuah lagu yang membuatnya terheran heran. Rap? Eminem? Marshall Mathers III? Slim Shady? Billy terbahak.

Well Oke, mengapa tidak.”

Lalu di mulailah kegilaan itu. Dengan belepotan, kata demi kata Billy ucapkan tergesa yang membuatnya kadang tertawa menyadari ketidakberdayaan menghadapi rentetan kalimat tak berjeda itu.

Yeah, it's been a ride

I guess I had to, go to that place, to get to this one

Now some of you, might still be in that place

If you're trying to get out, just follow me

I'll get you there

Billy terkagum kagum dengan kalimat kalimat yang meluncur deras dari penyanyi rap berkulit putih itu. Eminem adalah sebuah anomali diantara para rapper berkulit hitam. Eminem adalah bukti bahwa selalu ada ruang bagi siapa saja yang bersungguh sungguh. Billy  tersenyum diantara banyak penonton yang berteriak teriak memanggil nama penyanyi yang hobi memakai celana melorot itu.

***

Lembayung senja telah menampakkan dirinya di luar sana. Warna nya yang keemasan membuat mata Billy terpaku akan keindahannya. Ia menyandarkan punggung di kursi belajarnya. Jendela kamarnya yang terbuka lebar mengantarkan alunan angin sepoi sepoi ke dalam kamarnya. Billy menatap buku itu. Beberapa saat yang lalu, ia telah menghadiri konser konser fenomenal dari jaman ke jaman, banyak pelajaran yang ia tarik dari perjalanan itu. Namun pikirannya masih buntu. Billy memejamkan matanya. Sebuah tiupan angin mengusik lembaran kertas di buku yang di raihnya dengan segera. Sebuah lirik lagu tanpa judul dan tanpa nama pengalunnya tertera di sana.  Untuk beberapa saat ia memandangi barisan kata beserta chord yang ada di sana.  Tak berapa lama, di ambil kembali gitarnya  yang kemudian ia letakkan di pangkuannya.

Tidak seperti konser konser di atas panggung besar yang Billy sambangi sebelumnya, konser kali ini hanya diadakan di sebuah cafe.  Penonton yang hadir tidak berdesak desakan dan tidak berteriak teriak histeris. Billy berdiri di pojok ruangan, matanya terpaku ke atas stage rendah di depan sana.  Seorang vokalis muda terlihat menghayati perannya. Mereka yang tampil di atas sana sangat sederhana namun memesona.

Hangat sinar mentari

Cairkan beku hati

Waktu berikan janji

Angin arahkan pasti

“Maaf, kalau boleh tanya, itu band apa ya?” Billy memberanikan diri bertanya pada seseorang yang kini berdiri di sampingnya.

Orang itu menatap Billy aneh.“Itu Beatheaven.”

“Oh.” Billy manggut manggut.

Lalu Billy pun menyandarkan punggungnya di tembok ruangan itu dan menikmati setiap lagu yang mereka bawakan.  Semua ini sangat menakjubkan. Mendadak banyak sekali ide yang bermunculan di kepala pemuda berusia awal 20 an itu. Semangatnya berkobar seiring ia menghapus huruf yang ia tuliskan di ruang kosong lirik lagu itu.

***

Malam menjelang, Billy menutup jendela kamarnya. Ia tersenyum puas. Di otaknya kini mulai berjejalan ide ide besar. Ia tak sabar untuk memberitahukan kepada teman teman band nya. Billy menghampiri meja belajarnya untuk menutup buku yang telah berbaik hati kepadanya itu. Namun matanya menangkap sesuatu yang ganjil. Lembar di hadapannya terbuka sendiri, Billy terloncat kaget. Ia menengok ke segala arah. Dengan gemetar ia menghampiri kembali buku itu. Nampaklah sebuah judul lagu milik Michael Jackson, sang raja musik pop, berjudul Gone too soon. Liriknya hanya tertera beberapa baris saja di sana.

Like A Comet

Blazing 'Cross The Evening Sky

Gone Too Soon

Like A Rainbow

Fading In The Twinkling Of An Eye

Gone Too Soon

Shiny And Sparkly

And Splendidly Bright

Here One Day

Gone One Night

Setelah membaca itu, huruf huruf di lembaran kertas berwarna kekuningan itu pun menghilang secara perlahan. Billy tercekat. Ia membuka lembar lainnya, namun ia tak menemukan semua lirik lagu lagu tadi. Semuanya hilang. Billy menghembuskan nafasnya perlahan, ia menutup buku musik itu dengan lembut.

 

“Terima kasih telah menjadi sinar dalam kegelapanku.” Bisik nya lirih.

***

“Aku suka sekali dengan album baru kalian.” Yelena menyambut kedatangan Billy dengan semringah.

“Terima kasih Ye, sudah menjadi pendengar setia kami.” Billy meletakkan song book itu di meja kasir Yelena.

“Kenapa dengan buku ini? Ada yang rusak? Kok kamu kembalikan?”

Billy hanya tersenyum. “Suatu saat mungkin akan ada yang membutuhkannya. Terima kasih ya Ye.” Billy berlalu dari hadapan Yelena.

“Hei Bill, mungkin ini adalah hari keberuntunganmu.”

Billy menghentikan langkahnya. “Memangnya kenapa?’’

“Salah satu Beatheaven sedang ada di sini.” Yelena mengedipkan sebelah matanya. Billy terkejut, ia melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan, mencari.

“Pak Fanny.” Yelena berteriak sambal melambaikan tangannya.

Billy ternganga, ia tidak tahu harus berkata apa. Matanya berbinar ketika ia melihat seorang pria yang lagaknya seumuran dengan orang tua nya itu tengah menghampirinya.

“Dialah inspirasiku yang sebenar benar nya.” Billy berbisik di telinga Yelena.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun