Nasib orang yang salah jurusan itu sangat mengenaskan. Bengang bengong, celingak celinguk gak keruan. Masih mendinglah salah jurusan naik angkot atau bis, yang mana bisa di selesaikan tanpa harus menunggu waktu lama. Kalo salah jurusan kuliah? Itu makan waktu bertahun tahun untuk menerimanya, apalagi kalo jurusan yang diimpikan gak bisa di masuki alias UMPTN gagal lagi gagal lagi. Bila pun akhirnya diterima, yang harusnya ngospek, malah jadi yang di ospek. Dunia terbolak balik karena salah jurusan.
Gue adalah salah satu mahasiswa pengidap sindrom salah jurusan, tersesat sih enggak, karena ilmu yang gue pelajari bukan ilmu sesat. Tapi karena salah jurusan inilah gue akhirnya bertemu dengan teman teman yang kayaknya gak bakalan gue temuin di jurusan manapun, apalagi jurusan Citaliktik - Arab Saudi.
Karena ini semua salah gue bukan salah pak RT, maka gue harus menjalani nya dengan lapang dada. Setiap hari gue bawaannya males malesan, karena gue musti bangun pada saat ayam jantan masih selimutan, menembus kabut yang masih pekat, nongkrong di terminal, main seruduk masuk bis demi bangku yang berada di dekat pintu belakang. Hmm, bangku dekat pintu belakang yang penuh memori. Gak cuma daun pisang aja yang boleh punya memori, tapi bangku dekat pintu belakang juga. Aih, muka gue merah kayak warna kaos partai yang gampang melar.
Bangku itu adalah bangku keramat, gak ada yang boleh menempati selain gue sama kecengan gue. Jadi setiap ada orang yang mau menginvasi bangku itu sebelum kecengan gue dateng, gue halau duluan dengan jurus Kagemane no Jutsu. Cukup lah pake jurus itu, gak usah pake chidori atau rasengan, bahaya, nanti yang ada gue di marahin sama Kakashi.
Salah satu simptom salah jurusan adalah muka datar. Dan you know what mungkin salah jurusan dialami juga sama temen temen gue karena hampir semua mukanya datar waktu sedang ada kuliah. Tapi gak mungkin juga cengar cengir sih ya, ini mau kuliah apa nonton stand up comedy. Ah ya lupakan saja.
Ada satu hal yang paling ngegemesin dari kelas gue. Setiap masuk kelas semua orang rebutan kursi. Udah kayak pertarungan balon anggota DPR aja. Tak jarang ada yang gontok gontokan, lempar lemparan tas sampai lempar lemparan bakiak, tomat, cabe, terasi, sambel, telur busuk dan berbagai macam bahan pangan kadaluarsa yang lolos sidak BPOM. Inginnya sih lapor ke YLKI tapi apa daya gak ada kantor perwakilannya di kampus. Gak cuma di gedung bioskop kursi bagian belakang jadi favorit, di kelas gue juga begitu. Whiteboard seakan layar lebar yang menampilkan Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet saling berpegangan tangan sesaat sebelum Leo tenggelam. Gue nangis bombay, bukan karena scene film Titanic tadi tapi karena melihat tulisan pak Djody yang gak jelas akar pangkat nya. Tapi ngapain juga ada akar pangkat di mata kuliah akuntansi.
Simptom salah jurusan yang lain adalah perasaan mengantuk yang berlebihan kayak orang cacingan. Gue ngantuk gak ngantuk tetep aja keliatan ngantuk, ya mungkin gue cacingan. Maklum, belum sempet minum obat cacing, di posyandu gak ada , adanya vitamin A itu pun buat balita.
***
Suatu hari gue sempet shock karena dua tuduhan yang di lemparkan oleh salah satu dosen gue pas beliau sedang ngajar. Pertama, gue tidur. Kedua, gue cowok. Tidur? Ya okelah gue di sangka tidur karena sepanjang bu dosen cuap cuap di depan, gue gak merhatiin wajah beliau. Ngapain juga merhatiin wajahnya. Alih alih gue ngerti materi kuliahnya malah jadi mengagumi alis nya yang mirip konstruksi jembatan Golden Gate di San Fransisco sana. Kalo di sangka cowok, ya Mungkin juga karena rambut gue pendek, baju, kulit, bibir item semua, diamini dengan wajah kusam tanpa di lapisi pelembab, foundation, alas bedak, bedak tabur, bedak padat, shimmering sampe blush on. Oke gue terima.
Rupanya Bu Dosen penasaran sama hipotesa yang ada di kepalanya. Saat itu gue yang lagi mengagumi jeans dengan lubang menganga di lututnya si Anton di teriaki bagai maling kesiangan sama bu Mel, dosen gue itu. Padahal dalam hati, gue lagi sibuk ngomong sendiri.
Setdah, tu si Anton gak pernah di cekal walau pake celana jeans sobek sana sini, sedangkan gue pake sendal merah doang langsung kena cekal, padahal asli gue bukan simpatisan partai.
"Kamu yang pake baju item." Teriak Bu Mel gahar.
"Che, bu Mel nunjuk elu." bisik Arya sambil nyikut gue.
Gue celingukan, garuk kepala. Bagai pembawa acara Cerdas Cermat di TVRI, Bu Mel melemparkan pertanyaan yang dahsyat ke gue.
Gue sih tenang tenang aja, yang blingsatan malah si Arya. Kelakuan Arya itu udah kayak peserta kelompencapir dari desa tertinggal yang tak percaya diri karena teman di sampingnya kurang latihan dan wawasan. Mungkin Arya gak mau tercoreng mukanya duduk di sebelah orang kurang berwawasan kayak gue. Dia takut beasiswa supersemar yang sedang dalam proses pengajuan gagal total karena adanya pengaruh buruk dari lingkungan dan teman.
Tapi pertanyaan bu Mel, gue tangkis dengan kekuatan smash ala Liem Swie King. Bu Mel terbelalak, kenapa anak yang di sangkanya tidur dan di duganya cowok itu bisa menjawab benar dengan suara mezzo sopran. Hipotesa bu Mel langsung tepar. Arya menghembuskan nafas lega. Sedangkan gue merasa lucky aja kayak Lucky Luke, Hoki kayak baso tahu, dan beruntung kayak Untung sepupunya Donald Duck. Karena saat itu sebenernya gue memang gak merhatiin materi kuliah bu Mel. Tapi Tuhan memang maha pengasih dan maha penyayang. Sesaat sebelum Bu Mel melancarkan pertanyaan, gue sekilas iseng baca satu alinea di diktat yang terbuka lebar di hadapan gue. Dan alinea itu bagaikan tim SAR yang telah menyelamatkan gue dari angkara murka dosen berwajah dingin sedingin kulkas yang di taro di Alaska.
Kalo gue yang gak tidur di sangka tidur. Maka beruntunglah nasib dua temen gue yang tidur tapi gak terlihat tidur. Dua orang ini adalah pakarnya kamuflase wajah. Bersenjatakan kacamata minus masing masing dan kekuatan otot badan untuk tetap duduk tegak, mereka bisa lolos pergi ke alam mimpi.
Mereka ini salah satunya adalah sahabat lingkaran lima gue, Susan. Satu lagi adalah Andri, sang atlet basket. Kalo Susan ngantuk terus tidur wajar, karena rumahnya sama jauhnya dengan gue jadi bangunnya kepagian. Sedangkan Andri bener bener gak wajar. Kenapa? Karena dia adalah seorang atlet basket yang otomatis rajin berolahraga. Menurut Sandy, penyebab orang ngantukan alias pengen merem terus adalah stress, sakit, tidak bahagia, dan jarang olahraga. Nah, satu sebab pun gak ada yang cocok sama si Andri. Dia gak pernah stress karena kerjaannya makan pisang, dari pisang Cavendish yang mahal sampe pisang klutuk yang diogahin banyak orang kecuali tukang rujak. Pisang adalah salah satu makanan anti stres karena mengandung asam triptopthan yang bisa berubah kayak ksatria baja hitam tapi yang ini menjadi serotonin yaitu zat yang bisa memperbaiki suasana hati bukan suasana kacau di bumi. Kalo sakit dan gak bahagia kayaknya sih enggak juga secara dia terlahir dalam keluarga empat sehat lima sempurna, sehat walafiat lahir dan bathin.
"Dia itu jarang menghadirkan pancaran energi gamma dalam dirinya." begitu kata Sandy waktu gue cerita tentang si Andri.
"Pancaran energi gamma?" gue bengong. Yang gue tau cuma pancaran sinar patromax sama pengantar minum racun doang.
"Iya, jadi kurang bersemangat gitulah."
"Memangnya dari mana kita bisa dapet si energi gamma itu?"
"Katanya sih dengan sering menghadiri acara acara yang penuh semangat. Dengerin pidato yang berapi api, atau ikutan seminar MLM."
Gue manggut manggut, gak ngerti. Ah lupakanlah energi gamma gak ngaruh juga sama kekaguman gue ke Susan dan Andri karena karier tidur di kelas yang semakin hari semakin menanjak dan profesional. Gak kayak gue yang masih aja betah di level beginner.
***
Bosan adalah simptom salah jurusan selanjutnya. Gue adalah pengidap rasa bosan nomor wahid. Semua mata kuliah yang gue hadiri membuat gue bosan. Apalagi nilai kuliah gue, semua nya membosankan, jangan tanya IP gue, bosan gue liatnya karena gak pernah bergerak dari angka 2 koma sekian dan terima kasih. Jadi gue harus bisa menyiasati rasa bosan gue. Salah satu caranya adalah dengan menulis di diary.
FYI, gue punya diary, tapi diary ini sifatnya Luberjurdil alias langsung, umum, bebas, tidak rahasia, jujur dan adil. Semua orang boleh nulis di situ asalkan tidak menyinggung SARA dan mengandung konten pornografi. Nah, diary inilah media pelampisan rasa bosan gue saat materi kuliah yang di gelar gak bersahabat. Diary itu bisa pindah dari meja satu ke meja lain nya. Disana semua orang bisa nulis apa aja, dari curhat jatuh hati, patah hati, patah kaki, patah arang, patah satu tumbuh seribu, cerita humor, menggambar, marah marah dan lain sebagainya. Anti sama Ratna biasanya jadi lawan gue buat nulis di diary itu. Tapi Terkadang Susan, Lia, Sandy, sama Andri juga ikutan.
***
Hari ini gue ngerasa bosan banget ngikutin mata kuliah nya pak Djody. Gue gak mudeng mudeng bikin laporan rugi laba sama Neraca. Akhirnya gue buka diary dan langsung beraksi. Anti sama Ratna yang duduk di kedua sisi gue ternyata sama bosannya dengan gue. Akhirnya mereka ikutan nimbrung ngobrol lewat tulisan. Obrolan kami seru banget kayak obrolan Bapak Bapak di warung kopi atau Pos Ronda. Kasian juga sih sama si diary yang nasibnya terlunta lunta, dari satu meja ke meja lainnya. Bolak balik kayak rute angkot. Dari gue, ke Ratna, ke gue lagi, lari ke anti singgah ke gue, mampir ke Ratna, balik lagi ke gue dan gitu seterusnya. Temanya dari kecengan, makanan, kuliah, angkot, bis kota, liburan, sampai parpol. Yang gak ada cuma tema materi kuliah. Obrolan di diary lagi seru seru nya ngebahas tentang si Jappar yang pantang menyerah buat naklukin Lia. Gue sama dua teman gue itu udah kayak reporter infotainment versi media tulis. Walaupun di sambi dengan membuat laporan rugi laba dan neraca, fokus gue gak tercerai berai bila bersangkutan dengan bergosip. Tapi tidak dengan Ratna, kayaknya fokus nya kebalik balik, soalnya di diary gue sekarang ada tulisan.
CV. JAPPARLIA ENTERTAINMENT
NERACA
Per 31 Desember 2020
Aktiva lancar, Investasi jangka panjang, aktiva tetap, utang lancar, bla bla bla.
Busyet si Ratna gagal fokus. Gue langsung nengok ke sebelah kiri gue, yang gue dapati disana bukan wajah inosen Ratna melainkan wajah galak pak Djody yang poni belah tengah nya udah berubah jadi belah pinggir. Gue nyengir, sementara Ratna baru aja nongol di pintu, kayaknya dia baru pulang dari toilet.
Haduh, lagi lagi gue salah jurusan. Harusnya diary itu ke tangan Ratna malah berakhir di tangan pak Djody. Gue mati gaya. Kiriiiii, Pak!!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H