Bila selintas melirik dompet, di situ kadang saya merasa darting. Bukan karena gak ada uangnya, da uang mah banyak, tinggal besuk Peruri, tapi karena adanya sebentuk E KTP yang selalu membangkitkan rasa yang tidak dapat di definisikan dengan kata kata.
E KTP, E stand for Eneg, g nya pangkat dua tanda seru tanda seru tanda seru. Kenapa Eneg bukan Enak, karena kalo Enak mah merk susu kental manis yang ada gambar bocah nya.
Ya, Eneg bagian 1, nungguin undangan nya lama banget sejak gembar gembor nya, mungkin sang pengundang ingin memberikan undangan yang indah yang gak bakalan di lupain sama si terundang. Tapi nyatanya, tu undangan di lipet aja enggak, malah ada yang salah salah nulis nama sama tanggal lahirnya. Okelah di maklum karena yang di undangnya banyak banget, maklum hajatan besar. Tapi kan jadi keliatan banget gak propesionalnya, betul ? *kata aa Jim sambil headbanging.
Eneg bagian 2, harus bikin kartu keluarga dulu, karena kartu keluarga lama mendadak kadaluarsa. Dua puluh lima ribu. Ini kira kira bisa beli susu cap Enak 3 kaleng, lumayan.
Eneg bagian 3, sampe kecamatan, suasana nya udah kayak di film nya Mister Bean waktu antri nunguin toko buka saat ada obralan, mengular boa.
Jam 9 pagi belum satu pun undangan yang di proses, karena petugasnya kesiangan, mungkin ketinggalan kereta, bisa jadi nanti film pacar ketinggalan kereta bakal ada sekuelnya, judulnya petugas kecamatan ketinggalan kereta, walau entah jurusan mana. Jurusan rekayasa atau tata niaga.
Eneg bagian 4, menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana keadaan kantor kecamatan dengan para petugas yang sedang pada nyantai kayak di pantai jadi bikin ngacai untuk mencacai macai.
Eneg bagian 5, pendataan nya dari data diri sampe sidik jari tangan, pundak, lutut dan kaki plus foto dengan kamera berpixel entahlah dilakukan di sebuah ruangan yang sempit bagai celana pinsil, boro boro AC, AG aja gak ada karena jendela kaca yang hampir sepenuhnya tertutup. Dan yang dahsyatnya tu ruangan punya batas suci, lepas alas kaki. Kalo udah gini jadi inget lagu nya Dewow, alas kaki, berkelana gigit jari *sambil nyari nyari sendal yang kocar kacir kesana kemari.
Eneg bagian 6, penantian jadinya E KTP tanpa kepastian selama berbulan bulan, ibarat Keira Knightley yang menantikan Orlando Bloom di tepi pantai sambil menyanyikan lagunya Richie Blackmore dan Candice Night yang berjudul Spirit of The Sea.
Eneg bagian 7, ternyata gak ada yang istimewa dengan bentuk E KTP ini, gak berenda gak berpita, cuma gak usah di laminating aja. Dan yang paling nyebelin adalah foto yang terpampang di sana masih kalah kualitas nya dengan hasil jepretan henpon kelas middle end. Aduh bapak itu fotonya, kalo bisa mah gak usah pake foto ajah atuh. Da percuma pake foto juga, gak ada yang harus di tagih lewat debt collector jadi gak usah ada acara nyama nyamain muka. Kayaknya kamera yang di pake kamera minus 360, jadi hasilnya kelampauan bukan kekinian. Selebihnya sama dengan KTP jaman batu, masa berlaku nya sama, cuma 5 tahun aja, kirain teh bisa 10 kali lebaran atau seumur hidup gitulah. Ya, bolehlah 5 tahun sekali asal perpanjangannya di permudah, contohlah salah satu penerbit kartu kredit. Daaaan yang mengecewakan dari E KTP ini adalah gak bisa di pake di jaringan Visa dan Master. Ah too bad yah, padahal di dompet nih E KTP saya, kedudukannya sejajar dengan kartu kartu yang lain termasuk kartu diskon belanja :p.
Saya jadi teringat kembali dengan proses kelahiran E KTP saya ini, karena kemarin ada seorang teman yang kehilangan KTP dan harus membuat KTP baru di kecamatan dengan nomor antrian ke 200 sementara ia sudah stand by di sana sejak pukul 8 pagi bahkan sebelum para petugas kecamatan datang. Mengapa begitu bejibun, karena sedang ada Gebyar pembuatan E KTP (lagi) alias belum kelar kelar dari jaman kuda gigit besi.
Aih, E KTP, aku pada mu.