Ruang publik kota merupakan elemen kota memiliki peran yang sangat penting salah satunya di kota Makassar. Ruang publik kota Makassar yang paling umum di gunakan adalah jalanan. Makassar yang lebih di kenal dengan kota Daeng kini mulai di soroti berbagai kalangan karena menjadi kota termacet kedua di Indonesia, Mengapa demikian? Macet disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pertambahan jumlah kendaraan dan pertambahan jumlah jalan di kota Makassar, pertambahan jumlah kendaraan meningkat dengan pesat sementara pertambahan jalan bisa dikatakan tidak ada pertambahan yang signifikan. Selain itu, faktor yang turut berperan dalam kemacetan adalah banyak pengendara yang tidak disiplin dan tidak mematuhi peraturan berlalu lintas serta jumlah penduduk kota Makassar yang semakin banyak yang sebagian besar adalah Mahasiswa/mahasiswi yang melangsungkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Makassar.
Rasa gerah di karenakan teriknya pancaran sinar matahari di kota daeng menambah ketidaktahanan para pengendara yang mengalami kemacetan semakin tegang dan letih, sungguh tidak mengherankan jika para pengendara saling membunyikan klakson kendaraannya karena tidak tahan dengan kondisi cuaca yang demikian. Alih-alih ternyata penyebab lain dari kemacetan di kota daeng adalah banyaknya jumlah angkot atau yang lebih di kenal dengan sebutan pete-pete. Pete-pete yang jumlahnya benar-benar membludak menjadikan jalanan di kota makassar ditambah supir pete-pete yang tidak mau di kalah, semua badan jalan di penuhi bahkan sampai 4 jajar di jalanan. Namun di tahun 2015 beruntungnya Pemkot Makassar sudah mulai mengurangi jumlah pete-pete dan menggantinya dengan Bus.Meskipun jmlah pete-pete berkurang tapi jalanan di Makassar masih saja macet semoga saja ada tindak lanjut dari Pemkot Makassar lagi.
Ruang publik kota Makassar yang bisa diakses umum mungkin hanya berupa jalanan. Sementara ruang publik lain semacam trotoar pun telah jadi ajang perebutan atau pertarungan modal dan kuasa. Sampah yang berserakan dimana-mana, debu bertebaran, macet berkilo-kilo meter, panas menjadikan kota Daeng terlihat seperti kota yang benar-benar buruk, padahal konsep ekspresi di ruang publik seharusnya selalu dapat dipertanggungjawabkan. Hal corat-coret sendiri memang tidak bisa ditiadakan begitu saja. Visual di ruang publik selama tidak memaksa kearifan masyarakatnya sebenarnya bukan persoalan. Banyak orang yang menyayangkan karena komersialisasi ruang publik di Makassar berjalan sangat pasif .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H