"Berpikir mengenai trade-off  antara kesehatan dan ekonomi saat ini tidaklah tepat. Pilihannya adalah mengambil langkah-langkah yang cukup ekstrem sekarang, atau mengambil langkah-langkah yang sangat ekstrem nanti" ~ Jason Furman (Mantan ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Barack Obama).
Pola pikir ekonomi, secara alamiah dipengaruhi oleh konsep trade-off dan marjinal. Trade-off adalah konsep bila kita memilih satu hal maka kita harus melepas hal lain, atau bila ingin menambah sesuatu harus mengurangi yang lain. Nalar ekonomi makro menyatakan, pilihan haruslah membuat kondisi ekonomi menjadi semakin baik dan tumbuh.Â
Secara logika, ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia dan ekonomi mengalami penciutan besar, maka harusnya program-program yang diselamatkan adalah investasi, UMKM, pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor yang mendukung pemulihan ekonomi.
Namun apa yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah? Ganjar Pranowo memutuskan memberikan setidaknya 4,95% APBD Jawa Tengah untuk penanganan COVID-19. Persentase yang lebih tinggi dari yang disediakan DKI Jakarta yaitu 3,41%. Walau pun secara nominal 1,4 triliun rupiah masih di bawah Jawa Barat dan DKI Jakarta, hal ini wajar karena APBD Jawa Tengah hanya sebesar 28,3 triliun rupiah. Pilihan alokasi ini tidak mudah dan bahkan masih terus diperdebatkan di tingkat Nasional.
Logika ekonomi apa yang digunakan dalam pilihan ini? Banyak ekonom menyatakan bahwa pada masa pandemi, nalar ekonomi mengenai pertukaran antara ekonomi dan kesehatan tidak dapat digunakan karena menyangkut nyawa manusia. Kehilangan nyawa tidak bisa dibandingkan dengan biaya ekonomi. Kehilangan sumber daya manusia -- belum tentu dalam bentuk orang meninggal - memberikan potential loss yang sangat besar. Teori lain yang bisa digunakan untuk menjelaskan adalah Smithian yang dikembangkan Adam Smith dan Keynesian yang dikembangkan J.M Keynes. Â
Adam Sminth menyatakan ada dua guncangan penawaran yang berpengaruh pada ekonomi yaitu penurunan jumlah tenaga kerja dan gangguan rantai pasok. Pandemi dapat mengakibatkan kematian sehingga penawaran tenaga kerja turun. Karantina wilayah karena pandemi juga memicu kepanikan serta memengaruhi rantai pasok baik domestik maupun luar negeri. Di sisi lain, Keynesian melihat menyoroti adanya guncangan permintaan. Sebagian besar masyarakat tidak bisa bekerja dan mengalami penurunan daya beli.
Pandemi COVID-19 saat ini menyebabkan terjadinya guncangan baik dari sisi penawaran maupun permintaan yang bila tidak diintervensi di sisi kesehatan, maka justru akan menyebabkan kerusakan yang lebih dalam.
Pilihan Jawa Tengah adalah tepat. Jangka pendek pemerintah harus memberikan prioritas pada kesehatan, namun tetap memberikan stimulus fiskal dalam jumlah yang lebih kecil untuk memberi penguatan kepada rumah tangga miskin dan rentan. Bantuan tunai langsung, bantuan pangan, maupun subsidi listrik, serta realokasi APB Desa dalam bentuk Dana Padat Karya Tunai akan menjadi jaring penyelamat ekonomi.
Pilihan kebijakan dan stimulus yang sudah digulirkan, diharapkan akan bergerak ke arah yang benar. Pekerjaan rumah berikutnya bagi Pemerintah Jawa Tengah adalah menetapkan penerima stimulus fiskal secara tepat sasaran. Harmonisasi -- gotong royong - seluruh unsur di Jawa Tengah menjadi penting. Â Kematangan pengambilan keputusan dan komunikasi yang efektif dan sampai pada level terbawah harus terus dilakukan.
Ketika Jawa Tengah sudah memilih kesehatan sebagai panglima, biarlah ekonomi menjadi pengikutnya. Kita masih akan berlari panjang. Jangan kehabisan nafas dalam "peperangan" ini.
(Angelina Ika Rahutami, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Soegijapranata)