Mohon tunggu...
Cita Utami
Cita Utami Mohon Tunggu... -

saya menulis untuk melihat seberapa jauh proses belajar saya, untuk membandingkan seberapa jauh saya telah berkembang dalam hidup ini.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kenangan untuk Padmanaba

5 Februari 2010   05:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:05 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya hanya siluetnya saja yang terlihat. Silau terbiaskan dengan matahari jingga yang kuat bersinar, hanya di sore itu saja. Karena matahari tidak pernah menampakkan warna itu lagi, seakan ia hanya membuatnya khusus untuk hari itu. Siluet dari tubuh seorang lelaki tua yang sedang mengayuh sepeda yang sama tuanya. Ia mengayuhnya dengan pelan, mungkin tubuhnya tidak mengijinkannya mengayuh lebih cepat dari kecepatan yang ia kayuh sekarang. Atau mungkin sepeda itu sudah tidak sanggup untuk dikayuh lebih cepat. Kemungkinan yang sama karena lelaki itu dan sepedanya sama tuanya.

Ia mengenakan baju seperti sebuah seragam bagi para veteran perang. Entah apa warnanya. Mungkin cokelat, ato hijau. Matahari membiaskan warna-warna itu. Ia memakai topi veteran, yang tersemat sebuah bros. Garuda Pancasila. Tampak dengan jelas bahwa bros itu terawat dengan baik. Mungkin tanda bakti seseorang yang dulu pernah mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah cita-cita bersama, untuk merdeka. Tapi bros yang tersemat di dadanya tampak jauh lebih mencuri perhatian orang-orang yang kebetulan melewatinya. Warnanya merah, dan seakan matahari tidak mau membiaskan warna itu. Dan di sore itu, hanya bros itu saja yang masih kuat menunjukkan eksistensinya.

Bros dengan bentuk perlambang teratai.

PADMANABA.

Lambang sebuah sekolah yang telah berdiri lama, yang bangunannya menjadi bagian dari sejarah yang ikut dibentuk juga oleh lelaki itu. Sekolah yang umurnya lebih tua daripada negara ini. Sekolah yang telah menyumbang begitu banyak kenangan bagi begitu banyak orang, dan bagi lelaki itu. Sekolah yang sekarang sedang dituju olehnya.

Mungkin ada benarnya jika matahari berbaik hati di hari itu, karena hari itu adalah hari yang spesial. Spesial untuk sebuah sekolah dan orang-orang yang terlibat dengan sekolah itu. Hari untuk membagi kebahagiaan kenangan yang telah tercipta selama 60 tahun semenjak sekolah itu berdiri. Sehingga banyak orang berkumpul di sana sejak pagi, mengikuti berbagai acara yang sengaja dipersiapkan. Tujuan utamanya memang untuk bernostalgia, mengingat lagi apa yang mereka lalui di antara lorong-lorong kelas dan rindangnya pohon karetan yang menjadi simbol tidak resmi sekolah itu. Bagi sebagian orang, bisa jadi kesempatan untuk bertemu kawan lama yang tidak mungkin mereka temui di hari-hari biasa.

Tapi aku tidak mengerti apa arti hari itu bagi lelaki tua tadi.

Aku sudah bertemu dengannya. Siang tadi, setelah upacara besar. Aku melihatnya duduk sendiri memandangi sebuah kelas kosong, dan air mata membasahi pipinya. Aku memandangi sekelilingnya, dan juga sekelilingku. Aku merasa heran tidak ada orang lain yang menyadari kehadirannya selain aku. Aku kemudian mencoba memahami mengapa lelaki tua itu hanya sendiri, dan mengapa ia menangisi kelas kosong itu. Ketika aku mencoba memandangi sekitarku lagi, aku baru menyadari bahwa di antara ratusan alumni yang hadir tidak ada satupun yang setua lelaki ini. Kemungkinan bagi para generasi pertama sekolah ini masih hidup juga besar, aku rasa mungkin mereka masih berumur sekitar delapan puluh tahunan. Tapi tidak ada orang setua itu hadir, hanya lelaki tua tadi. Mungkin umur mereka telah menjadi batasan mereka sendiri untuk bisa hadir, aku yakin itu. Tidak mungkin angkatan pertama dari sekolah ini sudah hilang semua. Namun aku belum menemukan penjelasan yang masuk akal mengenai ketidak-beradaan mereka di sini.

Setelah beberapa saat memandangi lelaki tua tadi, aku beranjak pergi. Aku memutuskan untuk tidak memandangi lelaki tua tadi lebih lama lagi karena aku takut mengganggu kesenangannya dalam mengenang masanya di sini. Aku pergi mengikuti teman-temanku untuk sekedar berbagi cerita dengan beberapa alumni yang hadir.

Dan dari situ aku mendapatkan petunjuk jawaban mengapa lelaki tua tadi menangis.

Salah seorang alumni itu bercerita bahwa dulu, di jaman awal berdirinya sekolah ini, murid-murid yang bersekolah di sini harus siap jika sewaktu-waktu mereka dipanggil untuk perang. Itu sebuah kenyataan, suatu hari mereka mendapatkan panggilan perang ketika mereka sedang belajar. Sebuah perang. Sebuah pertaruhan akan nyawa manusia yang saling berperang. Entah dari pihak mana, akan selalu ada korban jiwa dalam perang ini. Tidak terkecuali perang yang itu. Beberapa dari anak-anak yang dipanggil perang pada saat itu tidak kembali untuk melanjutkan belajarnya di sini setelah perang usai.

Aku mengerti.

Itulah mengapa lelaki tua tadi menangis.

Dia adalah seorang veteran perang. Dia telah ikut dalam perang itu semenjak dia masih bersekolah di sini. Dan di suatu hari itu, dia termasuk yang dipanggil untuk berperang. Namun dia berhasil pulang untuk melanjutkan belajarnya, tapi tidak dengan teman-temannya.

Perang telah meninggalkan luka di hatinya karena dia telah kehilangan teman-temannya. Teman-temannya yang pernah berbagi suka dan duka di antara lorong-lorong kelas dan rindangnya lapangan. Teman-teman yang seharusnya kembali belajar bersamanya, dan kemudian bersama-sama berjuang membangun negaranya setelah perang usai.

Dia menangisi kenangannya bersama teman-temannya yang sudah mengorbankan nyawanya.

Ataukah dia menangisi ironi akan nasibnya kini? Tidak dihargai walaupun dulu pernah mempertaruhkan nyawa. Atau getir melihat ketidak-pedulian generasi penerusnya akan makna usahanya dan teman-temannya dalam mempertaruhkan sebuah kemerdekaan? Ataukah tangisan malu karena dia yang masih hidup tidak bisa memberikan kontribusi lebih bagi bangsa ini untuk terus maju?

Dia bisa menangisi semua itu.

Di sore hari ketika aku bertemu dengannya lagi, yang sedang mengayuh sepedanya, terbiaskan oleh warna jingga matahari, dia tampak begitu berbeda dengan lelaki tua yang menangis tadi. Walaupun tubuhnya rapuh, namun dia membusungkan dadanya, bangga. Aku tidak mengerti bangga akan apa, setelah dia menangisi segala yang ada.

Dia juga melihatku. Dan dia tersenyum padaku. Dia tahu bahwa aku telah memperhatikannya. Aku ingin menyapanya. Bertanya padanya mengapa dia menangis, dan mengapa dia sekarang terlihat begitu bangga.

Mobil yang datang dari arah berlawanan memantulkan sinar matahari yang menyilaukan mata. Aku menutup mataku dengan cepat, namun tidak cukup cepat karena aku masih merasakan rasa pedih akibat terkena pantulan sinar itu. Ketika mataku terbuka kembali, warna jingga itu hilang. Dunia kembali pada warna aslinya.

Lelaki tua itu hilang.

Aku mencarinya, meyakinkan diriku bahwa dia tidak mungkin bisa secepat itu mengayuh sepedanya dan menghilang di tikungan. Aku berlari ke tikungan itu, dan tidak menemukan tanda-tanda kehadirannya.

Dan dunia sudah tidak berwarna jingga, matahari bersinar seperti biasa, menampakkan dunia pada warna-warna aslinya.

Lelaki itu itu sudah menghilang.

Aku tersentak. Mungkinkah sedari awal dia memang tidak ada?

Lututku terasa lemas, dan aku terduduk di pinggir trotoar jalan. Memandangi dunia, yang sekejap lalu berwarna jingga. Memandangi bangunan tua itu di kejauhan, yang mulai kabur terhalang oleh air mata…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun