Pagi di Little India Singapura, di 2006. Lengang, seperti kebanyakan pagi di mana saja. Saya memilih duduk di tepi jendela hotel sambil mengedarkan pandangan dan sesekali membidikkan kamera. Sengaja saya tak memilih melanjutkan tidur meski malamnya mata kurang istirahat. Rasanya sayang melewatkan sebuah pagi yang entah kapan lagi saya bisa kembali menjumpainya.
Saat gelap berangsur remang menuju terang, sebuah suara memecah keheningan. Ada sebuah mobil besar yang seumur-umur baru itu saya menjumpai bentuknya. Bagian belakang mobil lalu terbuka, dan akhirnya saya tahu kegunaan mobil tersebut.
Mobil yang bagian belakangnya bisa terbuka dan tertutup itu ternyata mobil pengangkut sampah. Di kemudian hari saat melihat tayangan Ipin Upin, saya baru tahu jika mobil serupa juga dipakai di Malaysia. Kelebihannya, sampah tidak akan tercecer di jalan jika dibandingkan mobil pengangkut sampah di Indonesia. Pun menjaga aroma tak sedap yang bisa menguar sepanjang perjalanan.
Seorang kakek tua menyapa ramah petugas pengangkut sampah. Ia melayangkan pandangan ke segala penjuru, dan menemukan wajah saya yang tersembul dari balik jendela lantai dua hotel.
Senyumnya merekah ke arah saya, sembari menunjukkan gigi-giginya yang tak lagi utuh. Namun saya kikuk dan tak membalas senyum tulusnya. Seketika saya memundurkan tubuh. Lalu sesekali mengintip dari balik jendela untuk melihat apakah kakek itu sudah tak ada lagi di sana.
Sebuah momen yang membekas di benak saya hingga sekarang. Bayangan tentang Singapura yang angkuh menjadi pudar. Pun sedikit kekecewaan saya karena harus menginap di Little India ikut menguap. Malamnya, sebetulnya saya agak enggan saat Tari, teman perjalanan saya memilih Little India sebagai tempat bermalam. Bayangan bau tak sedap, lingkungan tak bersih, sempat membayang di kepala karena teringat gambaran India yang kerap saya lihat di tv.
“Sungguh beda ya dengan di Indonesia. Kayaknya saya jarang bertemu orang dan mau tersenyum tulus seperti itu,” pikir saya yang juga masih terkesan dengan mobil pengangkut sampah a la Singapura yang baru itu saya jumpa.
Gajah di pelupuk mata tak nampak, kuman di seberang lautan nampak.
Mungkin itu peribahasa yang mirip dengan apa yang ada dalam benak saya. Sebegitunya saya terkesan dengan budaya bersih dan senyum yang ada di Singapura. Tapi budaya serupa yang sesungguhnya masih ada di Indonesia tidak terjangkau dalam kepala.
Beberapa tahun kembali tinggal di Lamongan membuat mata saya terbuka. Daerah yang terkenal dengan program Lamongan Green and Clean ini berangsur-angsur telah membudaya gerakan bersih lingkungan. Lomba yang telah berjalan beberapa tahun itu mampu membuat masyarakat Lamongan jadi terpacu untuk berlomba-lomba menciptakan lingkungan tempat tinggal yang bersih dan juga cantik.