Meskipun saya pernah mengalami hal tidak mengenakkan karena dimarah-marahi oleh narasumber, kepanasan sampai kehujanan saat meliput, namun bukan itu semua yang membuat saya pertama kalinya sampai pernah terpikir untuk mundur dari profesi reporter.Â
Ketika belum genap setengah tahun saya menjalani profesi reperter, saya memang pernah terpikir untuk mundur hanya karena muak dengan ulah beberapa narasumber yang bertingkah macam-macam untuk diliput!
Sampai-sampai kadang menurut saya, bukan narasumber yang susah untuk diwawancarailah yang merupakan tipe orang sulit. Melainkan, narasumber yang sadar diri untuk diliput lah yang terkadang membuat kita pusing jika harus bertemu dengan mereka.
Awal-awalnya, saat media tempat saya bekerja baru berdiri, saya dan teman-teman reporter kerap kesulitan mewawancarai orang karena mereka takut akan berkomentar yang salah atau justru, takut jika nanti malah dimintai uang.Â
Tapi lambat laun, justru makin banyak lho masyarakat yang sadar diri untuk bicara, ingin didengarkan, ingin diperhatikan, ingin diliput, ingin ditulis namanya, dan ingin diberitakan!Â
Biasanya nih, yang seperti itu jadi makanannya teman-teman reporter yang ada di bidang politik atau kota. Yang namanya politikus, anggota dewan, pengamat politik, sampai LSM, kebanyakan dari mereka kerap merasa adalah orang penting yang patut untuk didengar ucapannya, dicatat namanya, dan diberitakan.Â
Cara mereka juga macam-macam. Ada yang kalau lihat reporter langsung mendekati dan bicara sambil merasa pastilah apa yang mereka omongkan akan dicatat atau direkam. Atau, sampai ada juga yang punya inisiatif untuk menelepon si reporter dan kemudian selanjutnya teman-teman saya yang kebetulan ketiban sampur tersebut harus siap menahan panasnya telinga akibat lamanya si narasumber tak diingginkan itu bicara berbuih-buih.
Sampai-sampai, kerap saya dengar teman-teman saya itu harus mengakalinya dengan cara berkelit yang cerdas. Misalnya, langsung buru-buru beranjak jika insting mereka sudah berkata ada narasumber sadar diri yang ingin diliput, sampai membiarkan telepon yang berdering untuk tidak diangkat dan kemudian dikemudian hari mengaku merasa tidak pernah dihubungi!Â
Uniknya, si narasumber tidak tahu diri ini kerap berulah jika sedang terjadi musibah. Misalnya, sewaktu itu sedang ada peristiwa tsunami di Aceh, gempa di Jogja, atau kebakaran di ruli alias rumah susun, mereka pasti punya inisiatif untuk menelepon kantor media tempat saya bekerja, atau bahkan langsung ke nomor ponsel reporter yang mereka kenal.
Selanjutnya ya tentu saja, mereka minta diliput, minta dicatat namanya berikut bentuk dan besar bantuan yang mereka keluarkan. Lebih-lebih lagi, mereka terkadang juga minta untuk difoto dan dimuat foto mereka yang sedang berpose menyerahkan bantuan atau sedang membereskan bantuan milik mereka yang akan mereka sumbangkan.