"Creng dung dung creng..."
Sambil berjalan hendak menuju eskalator turun, aku menatap ke arah suara yang berada di bawah sana. Sekelompok anak yang kelihatannya seumuran denganku terlihat asik bermain barongsai.Â
Ada sebuah toko penjualan hp di mall tersebut yang baru buka. Sebagai tradisi orang Tionghoa, biasanya mereka akan mendatangkan barongsai untuk memberikan keselamatan dan hoki atau keburuntungan bagi usahanya kelak.
Sesosok barongsai yang kulihat itupun tampak meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Matanya yang genit mengerjap-erjap pada kepalanya yang bergoyang patah-patah.
Namun kepala barongsai seketika berhenti menatapku. Seakan satu hati, mata kami beradu beberapa detik dengan hentakan pelan yang seketika memberhentikan mata kami berdua untuk berkedip.Â
Tetapi bagian kaki barongsai yang terus bergerak membuat kepala barongsai segera kembali menari lincah ditingkahi tambur, simbal, dan kenong yang terus dibunyikan. Aku tersentak tersadar dan kembali berjalan meski masih melangkah perlahan.
"Ayolah Mei Hua, udah malam banget nih. Aku masih belum ngerjain PR Kimia," Ling Ling menarik tanganku untuk bergegas.
Dan aku terus berlalu dengan kepala yang terus memutar memori. Dulu... beberapa tahun yang lalu, ada sebuah cerita yang masih terselip dalam benakku tentang barongsai.
Kalau ditanya kapan seseorang punya cinta pertama, pastinya kebanyakan akan menjawab waktu SMP. Itu juga yang aku alami. Cinta pertamaku jatuh pada teman sekelas sewaktu aku duduk di kelas satu SMP.
Namanya A Seng. Sama denganku, ia juga seorang Tionghoa. Ah jika kalian tahu, bahkan hampir separuh dari isi kelasku adalah orang Tionghoa.Â