Cerita di Balik Patung, Pencarian dan Cinta yang Sempurna
Di sebuah desa, di daerah Yunan, tinggal seorang gadis yang cantik jelita bernama Ashima. Dia tak hanya cantik tapi juga memiliki keindahan hati yang luar biasa. Ashima jatuh cinta kepada Ahe: laki-laki sederhana yang tinggal jauh di desa.
Namun, anak seorang kepala suku yang bernama Achin berusaha menggoyahkan perasaan cinta Ashima pada Ahe. Tapi Ashima tak goyah sedikit pun. Achin akhirnya menculik Ashima. Tapi karena tak juga berhasil mendapatkan cinta Ashima, Achin membuat banjir besar yang menenggelamkan desa. Ahe berusaha mencari Ashima, tapi Ashima telah berubah menjadi batu.
Sejak saat itu, setiap kali Ahe merindukan Ashima, ia akan datang dan berbicara kepada patung Ashima. Yang ada hanyalah gema. Gema yang tak lain adalah bisikan cinta Ashima. Dan itu cukup menjaga kesetiaan Ahe pada cintanya. Selamanya.
***
Potongan kisah di atas adalah jarum yang menyulam sekaligus merekatkan benang-benang cerita dalam film Assalamualaikum Beijing. Itu jika kita tak ingin menyebutnya sebagai ruh atau ibu yang melahirkan cerita dalam film tersebut.
Awalnya saya tak tertarik menyaksikan film ini. Bukan apa-apa. Pasalnya saya sudah sangat sering kecewa dengan film Indonesia akhir-akhir ini, terlebih pada performa film-film yang lantang menawarkan suguhan religi. Bayangan yang tergambar di kepala saya adalah kumpulan ayat-ayat dan nasihat yang berloncatan tak henti-henti. Cerita yang dilarikan seadanya. Kebetulan-kebetulan yang menjemukan, tokoh-tokoh yang tak konsisten, dan ending yang sudah sangat bisa ditebak.
Saya tak kunjung pergi ke bioskop, bahkan ketika teman dekat saya dan istrinya berulang-ulang memberi pujian dan tak habis-habis membicarakan betapa bagusnya film yang diangkat dari novel Asma Nadia ini.
Saya sendiri belum membaca novelnya dan belum mampu mendapat gambaran lain, selain apa yang sudah jauh-jauh hari saya ciptakan sendiri di kepala saya tentang film ini. Diam-diam, saya mengamati perkembangannya di dunia maya. Membaca beberapa komentar dari mereka yang sudah menonton, dan nyaris semuanya bernada puja-puji. Ada yang mengaku sampai menonton tiga kali, bahkan empat kali. Saat itu, istri teman saya sudah menontonnya dua kali, dan setiap saya berkunjung ke rumahnya, dia tak henti-henti memutar soundtrack film tersebut yang ternyata dinyanyikan sendiri oleh Asma Nadia.
Saya menganggap itu adalah sebuah bentuk respon yang berlebihan. Meskipun secara data, perolehan jumlah penonton Assalamualaikum Beijing pada pekan pertama cukup membanggakan. Menembus angka 300 juta penonton dan masuk dalam jajaran film paling banyak ditonton dalam kurun waktu 2014.
Saya mulai bertanya, apa sebenarnya magnet yang memikat dalam film ini. Tak diragukan, Asma Nadia, dari beberapa cerita pendek dan novel yang pernah saya baca, adalah sosok penulis yang pandai merangkai cerita sederhana namun sukses mengaduk emosi pembaca. Ceritanya begitu dekat dan digemari khlayak, terlebih remaja-remaja putri dan ibu-ibu. Mungkin itu juga yang membuat film Assalamualaikum Bejing ini jadi laris. Sialnya, itu malah membuat saya kembali membangun sebuah simpulan baru bahwa film Assalamualaikum Beijing adalah film emak-emak. Alasan itu pula yang saya sampaikan ke beberapa teman saya.
Saya kembali menyibukkan diri dan menganggap film Assalamualaikum Beijing adalah film yang tak perlu buru-buru ditonton di bioskop. Sampai kemarin siang, saya membaca pesan dari seorang teman yang mengabarkan bahwa ada nonton gratis film Assalamualaikum Beijing di Plaza Semanggi. Tempat yang tak jauh dari kos saya.
Sebuah kebetulan. Saya sedang kosong, dan sudah dua hari ini tidak keluar kos karena kurang enak badan dan cuaca Jakarta yang sepanjang waktu terus diguyur hujan. Saya memutuskan berangkat, meski masih meniatkan diri untuk jalan-jalan; nanti saya bisa mampir ke toko buku jika tiba-tiba saya tidak tertarik untuk menonton film tersebut. Dan seandainya saya benar-benar menonton lalu kecewa, toh saya hanya rugi waktu, saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli tiket. Sepanjang perjalanan Jatipadang–Semanggi saya tak henti-henti menata ulang niat.
Sampai di Semanggi sudah hampir masuk waktu Magrib, saya tak segera ke cinemaxxx untuk registrasi melainkan mencari mushola lebih dulu. Selesai salat, saya baru menuju bioskop dan mendapati antrian telah sepi, rupanya tiket untuk nonton gratis sudah habis, dan saya berpikir mungkin ini adalah jawaban atas keragu-raguan saya.
Saya hampir memutuskan keluar bioskop, sampai saya bertemu dengan sosok yang sudah tak asing lagi di mata saya. Seorang ibu yang begitu ramah dan hangat. Beliau adalah Helvy Tiana Rosa. Kakak kandung Asma Nadia. Penulis, penyair, pendiri Forum Lingkar Pena, sekaligus mentor menulis yang baik hati dan tak pelit memuji. :) “Hei, apa kabar sastrawan kita? Tulisanmu tambah bagus sekarang. Bener, lho.” Begitu beliau menyapa, dan saya hanya berdiri sambil senyum-senyum sendiri. Kami sudah lama tak bertegur sapa. Hanya beberapa kali saling memberi komentar di media sosial. Saya memang berharap bertemu beliau dan mengobrol banyak hal, tapi saya kikuk karena saya belum menonton film Assalamualaikum Beijing, film yang hampir setiap hari beliau kampanyekan di twitter.
“Kamu sama siapa?” Beliau bertanya lagi. Saya jawab, sendiri. “Mau ikutan nonton Assalamualaikum Beijing? Emang belum nonton?” Saya hanya mengangguk dua kali. “Sudah dapat tiket?” Belum. Beliau menengok ke kanan-kiri, memanggil seorang kenalan dan meminta agar mengusahakan sebuah tiket untuk saya. Saya bilang, “Nggak usah, Bund.” Saya dan teman-teman biasa memanggil beliau Bunda. “Saya ke sini memang cuma pengin jalan-jalan, sama ketemu Bunda Helvy.” Entah kenapa saya bisa menjawab sedemikian rupa. Tapi setidaknya saya berkata jujur. “Enggak, kamu harus nonton.”
Saya berbincang beberapa saat dengan Bunda, bertegur sapa dengan Asma Nadia, saya memanggilnya Mbak Asma saat bertemu, dan membantu mengambilkan gambar beberapa orang yang ingin berfoto dengannya. Tapi tiket tambahan belum juga ada sampai saat pemutaran hampir dimulai. Bunda menyerahkan sebuah tiket kepada saya dan berpesan agar saya jangan sampai ketinggalan pemutaran.
Di dalam bioskop, semua kursi sudah hampir terisi. Hanya tersisa beberapa saja di bangku VIP. Setelah beberapa menit sambutan dari penulis, artis dan pihak Zoya selaku panitia nonton bareng, Film Assalamualaikum Beijing diputar.
Sebenarnya saya juga masih belum yakin bahwa saya akan menikmati film ini. Tapi saya sudah sampai di dalam, dan perjalanan saya mendapatkan tiket juga bukan sesuatu yang biasa, maka bismillah, saya menonton film Assalamuiakum Beijing.
Adegan pertama film ini dimulai dengan sebuah scene di rumah Asma (Revalina S Temat).Asma terlihat sedang berbincang serius dengan Dewa (Ibnu Jamil), sedangkan di sekitar nampak sebuah pelaminan yang belum selesai ditata. Seorang Ibu (Jajang C. Noer) nampak mengintip dari jendela rumah. Itu adalah suasana menegangkan di mana Asma memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Dewa, seorang lelaki yang seharusnya menjadi suaminya esok hari. Yang ternyata berselingkuh dengan teman kantornya, dan hamil.
Di tempat duduk, saya kembali merasa resah. Saya sama sekali tidak ragu dengan olah peran Reva dan Ibnu Jamil. Mereka benar-benar meyakinkan. Tapi, saya khawatir dengan pembukaan film ini. Meski itu adalah pembukaan yang menceritakan banyak hal, sebuah babak baru, tapi tetap saja belum cukup untuk menyentak penonton, pikir saya. Saya termasuk mereka yang percaya bahwa pembukaan yang baik adalah setengah dari keberhasilan sebuah cerita. Mungkin saya terlalu mendewakan film-film Hollywood. Saya memutuskan untuk terus mengikuti film ini. Tiga bulan kemudian, Asma terbang ke Beijing dan menjadi penulis kolom di sana.
Di Beijing, Asma disambut Sekar (Laudya Cynthia Bela) dan suaminya, Ridwan (Deddy Mahendra Desta). Alur masih berjalan lambat, hanya saja sudah mulai ada senyum yang mekar di sini. Saya mulai mendengar beberapa orang yang duduk di samping saya tergelak karena kecocakan yang dibangun oleh Sekar dengan segala pikiran di kepalanya atau dengan Suaminya. Bela memang tampil begitu segar dan menggemaskan memainkan peran Sekar, seorang sahabat yang begitu perhatian dan selalu memimpikan sebuah kisah romantis ala drama Korea. Sedangkan sosok Asma masih bertahan pada karakter perempuan yang mencoba kuat setelah hantaman badai patah hati. Sekar memberi harapan pada Asma bahwa barangkali di Beijing ia akan menemukan jodohnya. Sekalipun Asma menampik, bahwa di Baijing dia hanya ingin mencari karir.
Sampai di sini, saya juga belum begitu yakin akan ada konflik-konflik yang signifikan yang akan menjadi tangga dramatik film ini. Saya takut, saya akan tertidur dan membiarkan film ini terus berjalan lambat, lalu terbangun kelelahan ketika film usai dan hanya bisa menjawab, filmnya kurang nggreget, Bund, saat nanti ditanya Bunda Helvy.
Kekhawatiran saya perlahan mulai hilang di hari pertama Asma mulai mencari bahan untuk kolomnya. Di dalam sebuah bus, ia begitu bersemangat memotret setiap hal yang menarik perhatiannya. Ketika bus berhenti di sebuah stasiun, masuklah seorang pemuda tampan, Asma tak sengaja memotretnya. Namun hanya bagian punggung saja, dan tidak menyadari bahwa Zhong Wen (Morgan Oey) si pemuda tampan itu duduk di bangku belakangnya. Asma kebingungan, apakah bus yang ditumpanginya telah melewati halte yang ditujunya atau belum, dan bertanya pada seorang perempuan di dekatnya yang ternyata tak mengerti lalu mencoba menghubungi Sekar tapi gagal, saat itulah Zhong Wenbersedia membantu memberi penjelasan pada Asma.
Mereka pun berkenalan. Asma menyebutkan namanya, tapi Zhong Wenreflek memanggil Asma, Ashima. Yang ternyata adalah sosok gadis cantik jelita di dalam sebuah legenda Yunan yang dikaguminya, sekaligus lambang kesucian di desa tersebut. Asma masih tak mengerti, dan Zhong Wen hanya bisa memberikan sebuah buku yang berisi tentang legenda patung Ashima itu. Kemudian Zhong Wen tiba-tiba turun dari bus karena telah sampai di halte yang ditujunya, meninggalkan kesan dan pertanyaan-pertanyaan di benak Asma.
Punggung, buku dan sebuah dongeng patung gadis cantik jelita. Sekumpulan teka-teki yang menarik. Terlebih, hal itu semakin dikuatkan oleh percakapan antara Sekar dan Asma yang sangat segar. Kepolosan dan spontanitas Sekar soal teorinya tentang punggung benar-benar menghibur. Sekar juga memberikan nama yang lucu untuk Zhong Wen yaitu, Cung-Cung. Di saat yang sama, saya mendapat pukulan yang telak, bahwa akting Morgan benar-benar natural dan cool, jauh dari prediksi awal saya. Saya pun mulai terbawa mengikuti alur film ini.
Perburuan teka-teki punggung berlangsung seiring perjalanan Asma mengelilingi Beijing, (ditemani seorang tour guide peranakan China bernama Sunny yang fasih berbahasa Indonesia) mengenal berbagai tempat dan sekaligus mencari narasumber untuk kolomnya. Mata saya benar-benar dimanjakan dengan pemandangan kota yang menawan. Bangunan-bangunan pecinan, dan tempat bersejaran di China. Ketika sampai di Great Wall, tembok China yang bersejarah itu, dan hanyut dalam nostalgia masa lalu tentang bagaimana tembok itu menyimpan rasa sakit dan sejarah yang terkubur di dalamnya, bayangan teka-teki punggung hadir kembali di mata Asma. Asma berusaha mengejar, tapi ia masih gagal bertemu kembali dengan sang empu punggung dan buku cerita itu.
Sampai di sini, cerita film ini jadi semakin menarik saja. Tapi saya segera disadarkan oleh adanya kemiripan antara film ini dengan film 99 Cahaya di Langit Eropa, dan saya baru ngeh bahwa ternyata film ini digarap oleh sutradara yang sama, Guntur Soeharjanto. Saya mulai melihat kembali ke awal dan menyimpulkan bahwa, mungkin memang beginilah cara Guntur men-direct film-filmnya. Ia membiarkan penonton perlahan-lahan hanyut, seperti sebuah perjalanan wisata yang menegangkan. Hanya saja, entah kenapa saya yakin bahwa kejutan dan lapisan drama di film ini akan jauh lebih banyak dan lebih kuat dibanding 99 Cahaya.
Pada tour kesekian, Sunny berhalangan datang dan digantikan oleh temanya sesama pemandu yang tak lain adalah Zhong Wen. Sebuah kejutan yang tak terduga, setelah Asma hampir putus asa dan pasrah dengan rasa penasaran dan teka-teki punggung. Lebih dari itu, ternyata Zhong Wen juga fasih berbahasa Indonesia, sehingga itu memantik kembali ingatan perbincangan konyol di bus beberapa waktu lalu. Zhong Wen mengantar Asma mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah, mengenal budaya minum teh, dan menggali semua filosofi di sana. Film ini benar-benar seperti tour budaya yang mengasyikkan, batin saya.
Puncaknya adalah ketika mereka mengunjungi sebuah masjid dan Zhong Wen tidak bisa masuk karena dia seorang non-muslim. Sejak awal, Asma sudah merasa khawatir dengan prasangkanya bahwa Zhong Wen non-muslim. Meskipun ia menanam rasa kagum dan merasakan aura kebaikan dari diri Zhong Wen, Asma masih ragu untuk memutuskan jatuh cinta karena perbedaan keyakinan.
Selepas dari masjid inilah terjadi perbincangan tentang Tuhan dan agama antara Zhong Wendan Asma. Zhong Wen ternyata percaya adanya Tuhan, hanya saja ia memilih untuk tidak beragama, karena ia percaya bahwa agama hanya membuat pertengkaran dan pertumpahan darah. Asma dengan cerdas dan anggun mampu menampik argumen Zhong Wen. Bahwasanya agama menyeru pada kedamaian, yang seringkali menebarkan kebencian adalah manusia dengan mengatas-namakan agama. Sampai di sini, terlihat sekali bahwa Zhong Wen mengagumi Asma, bahkan mungkin dari pertemuan pertama mereka, dan sepertinya ia mulai tertarik dengan islam.
Pada perjalanan pulang, Asma mampir di sebuah kedai buah tangan, dan membelikan peci untuk Zhong Wen. Asma hanya berpesan simpanlah, ketika melihat raut muka Zhong Wen yang kebingungan. Wow, saya berdecak, sebuah peci, secara tidak langsung itu adalah gambaran perasaan Asma, harapan, permintaan halus dan rasa cinta yang tak bisa diungkapkan karena suatu hal.
Legenda tentang patung Ashima pun dimulai: Di sebuah desa, di daerah Yunan, tinggal seorang gadis yang cantik jelita bernama Ashima. Dia tak hanya cantik tapi juga memiliki keindahan hati yang luar biasa. Ashima jatuh cinta kepada Ahe: laki-laki sederhana yang tinggal jauh di desa.Zhong Wen berjanji akan membacakan seluruh dongeng di buku itu kalau dia bersedia diajak Asma untuk mengunjungi patung Ashima di Yunan.
Tapi kedekatan Asma dan Zhong Wen segera diuji dengan datangnya Dewa ke China. Dewa ingin meminta kembali kesempata kedua, tapi Asma tegas menolak meski ia memberi kesempatan pada Dewa untuk bertemu dengannya. Di titik inilah, konflik-konflik kecil yang sangat membekas dan kemapanan karakter tokoh diperlihatkan. Bagaimana jadinya karakter-karakter seperti Asma, Sekar, Zhong Wen dan Dewa bergesekan. Kita begitu dekat dengan karakter-karakter ini di kehidupan kita setiap hari, dan bisa memutuskan kepada siapa akan bersimpati.
Terima kasih atas satu hari lagi yang kau berikan, ya Allah.Asma mulai menunjukkan gejala penyakitnya, Dewa menyerah dan terbang kembali ke Indonesia, sedangkan Zhong Wen masih bergelut dengan kekagumannya pada Asma, kepercayaannya pada legenda patung Ashima, serta tanda-tanda ketertarikannya pada islam. Pada hari menjelang kepergian mereka ke Yunan, Asma drop dan divonis menderita Antiphospholipid Syndrome (APS), sebuah penyakin gumpalan darah sehingga ia harus pulang ke Indonesia dan berobat di tanah air. Zhong Wen terlihat kecewa atas kepergiaan Asma yang mendadak.
Namun, anak seorang kepala suku yang bernama Achin berusaha menggoyahkan perasaan cinta Ashima pada Ahe. Tapi Ashima tak goyah sedikit pun. Achin akhirnya menculik Ashima. Tapi karena tak juga berhasil mendapatkan cinta Ashima, Achin membuat banjir besar yang menenggelamkan desa. Ahe berusaha mencari Ashima, tapi Ashima telah berubah menjadi batu.
Ini adalah titik di mana saya mau tak mau, harus ikut menumpahkan airmata. Betapa cerita ini dibangun begitu kuat, begitu lembut dan menghayutkan. Saat Asma berusaha melawan penyakitnya, Zhong Wen berusaha menuntaskan rasa ingin tahunya pada islam dan akhirnya memilih untuk bersyahadat. Dua pasang manusia beriringan menyempurnakan takdir cinta dan keyakinan mereka.
Di sebuah rumah sakit, di atas kursi roda, Asma membuka buku dongeng itu dan membacakannya untuk pasien-pasien anak-anak di rumah sakit itu. Cerita tentang legenda patung Ashima dan kesucian cinta kembali diulang. Dan itu semakin menguras air mata.
Sejak saat itu, setiap kali Ahe merindukan Ashima, ia akan datang dan berbicara kepada patung Ashima. Yang ada hanyalah gema. Gema yang tak lain adalah bisikan cinta Ashima. Dan itu cukup menjaga kesetiaan Ahe pada cintanya. Selamanya.
Asma berangsur pulih. Namun dia bisa kambuh kapan saja.
Sampai pada titik ini saya sudah tidak meragukan lagi kualitas film Assalamualaikum Beijing, saya memutuskan untuk terus terisak bersama penonton lain yang rata-rata juga menyimpan kecamuk haru yang sama dengan saya, dan sesekali kami masih tersenyum melihat kejenakaan Sekar yang benar-benar menggemaskan.
Sekelebat, saya membayangkan bagaimana perasaan teman saya dan istrinya ketika menonton, saya diam-diam merasa bahwa saya terlalu mudah mematahkan keindahan yang mereka dapatkan dengan simpulan tanpa dasar dan menyama-ratakan segala hal.
Film masih terus berlanjut, dengan jalinan kisah yang lembut, menegangkan dan tanpa goyah sedikit pun. Ajakan dakwah yang benar-benar halus, ramah dan cerdas. Kutipan-kutipan bijak sehari-hari dan hal-hal kecil yang mengena. Kepaduan dan kepadatan cerita benar-benar ditampilkan dengan unggul sepanjang film, membuat saya mau tak mau harus memberi pujian bagi penulis skenario yang sepertinya benar-benar telah bekerja keras. Bagaimana penulis mengaitkan tokoh utama “Asma” dengan legenda patung “Ashima”, serta ketulusan dan takdir cinta yang akhirnya harus dijalani oleh Asma dan Zhong Wen merupakan suatu kecerdasan, keistimewaan dan nilai tambah, yang harus saya puji berkali-kali.
Masih banyak kejutan dan kabar bahagia yang membuat kita bersyukur, berkaca, mengambil permenungan, tersenyum, hinga ikhlas meneteskan airmata sampai cerita dalam film ini benar-benar berakhir. Bahkan akan tetap mengenangnya ketika kita pulang ke rumah, bertanya pada diri sendiri siapakah cinta sejati kita. Sudahkah kita mencintainya dengan tulus dan penuh kepasrahan pada kehendak-Nya.
Jika yang dicari adalah kekurangan film ini, saya tentu bisa menyebutkan beberapa. Misalnya adalah pengambilan gambar yang sering goyah, percakapan yang kadang sambil lalu dan ketidak tepatan berekspseri beberpa tokoh. Tapi, semua itu tertutupi oleh segala kelebihan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan kalau saya boleh menyebut, segala kekurangan itu justru menjadi seperti tahi lalat di pipi Asma yang semakin memperindah kesempurnaan sebuah wajah.
“Cinta sempurna itu ada, dan tak perlu fisik sempurna untuk bisa memiliki kisah cinta yang sempurna.”
Keluar dari bioskop, saya segera menemui Bunda Helvy dan bilang, “Bagus banget, Bund, filmya.” Saya berulangkali mengucapkan terima kasih. Lalu sebagai wujud penyesalan dan pemintaan maaf, saya pun ikut mengirim pesan kepada teman saya. “Saya sudah nonton Assalamualaikum Beijing. Bagus, harusnya saya sudah nonton dari kemarin-kemarin.”
Jika saya ditanya, berapa nilai film ini dari angka tertinggi 10, maka saya akan tegas menjawab 8,5. Beberapa waktu lalu saya memberi nilai 6 untuk Supernova, dan 7,5 Pendekar Tongkat Emas. Hanya dua film tanah air yang pernah saya beri angka 9, dan angka 10 sampai saat ini masih kosong.
Ke depan, saya benar-benar berharap film-film yang bernafaskan islam akan digarap sehalus dan semeyakinkan Assalamualaikum Beijing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H