Mohon tunggu...
Ika Laila
Ika Laila Mohon Tunggu... Administrasi - meramu kisah

Perempuan biasa yang gemar menulis dan bercerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku (Benci) Ayah

29 April 2021   21:58 Diperbarui: 29 April 2021   22:10 4531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah ga si kalian dengar istilah "Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya" ? mungkin itu  berlaku untuk semua anak perempuan didunia ini kecuali aku. Jika bagi kalian ayah adalah cinta pertama, maka ayahku adalah patah hati pertamaku. Tahukan jika patah hati pertama kan membekas dan bikin susah jatuh cinta lagi ? itu yang akhirnya bikin aku gabisa mudah percaya sama makhluk bernama laki -- laki.  Ayah menjadi orang pertama yang akhirnya melukai kepercayaaanku. 

Sejak kecil, aku hidup dalam keluarga yang bisa di bilang broken home. Broken home menurutku bukan hanya keadaan dimana orang tua kita bercerai, tapi keadaan dimana kita tidak merasakan peran yang seharusnya di dalam rumah. Ayah yang tak pernah melindungi kita, anak yang tak bisa merasakan kasih sayang dari keduanya, itu juga broken home. 

Orang tuaku tidak bercerai, kami tinggal satu rumah. Hanya saja tak pernah ada kata cinta diantara kami. Ibu yang pergi bekerja dari malam sampai balik ke malam lagi membuatku tunbuh tanpa peran seorang ibu. Semuanya kulakukan sendiri. Setiap hari aku masak mie goreng bareng sama adikku untuk kami bagi dua. Kami jarang bertemu ibu, dan setiap kali ada waktu untuk sama -- sama dirumah akan dihabiskan dengan pertengkaran hebat diantara dua manuisa yang harusnya disatukan oleh cinta. 

Memang benar, kita tak bisa melupakan karena punya ingatan, tapi setidaknya aku punya hati untuk memaafkan. Kejadian ini sudah lama sekali. Tapi sebagai manusia biasa, aku tetap mengingat semua itu dan pasti ada rasa sakit teramat sangat jika sewaktu -- waktu potongan -- potongan kisah itu menyelinap dalam otakku. Siang itu, aku pulang sekolah masih dengan seragam merah putih. Sesampainya dirumah, ayah masih tidur di sofa depan TV, tanpa sengaja aku menendang kakinya. 

Seketika ia bangun dengan mata terbelalak merah dan melemparku dengan remote TV. Tidak sebegitu sakit memang kepalaku, tapi hatiku ? iya hatiku yang sakit. Sakit sekali, sebab tidak hanya kali itu saja ayah meyiksaku. Malaikat yang seharusnya melindungiku sepenuh hatinya, justru tidak bisa menjadi tempat berlindung. Tak jarang ia juga menyiksa ibu saat malam -- malam ibu pulang dari kerja. Aku yang masih kecil hanya bisa melihat keduanya adu mulut, ayah mulai memainkan tangannya untuk menampar pipi lelah ibu, lalu ibu menangis. 

Aku hanya bisa meringkuk disudut kamar sambil terus menyimak pertengkaran mereka. Jika sudah emosi malam harinya, ayah akan melampiaskan itu kepadaku di pagi harinya. Benar saja, ia memarahiku habis -- habisan dan dengan kasar menarikku keluar kamar untuk siap -- siap ke sekolah. Aku menyiapkan semuanya dengan air mata yang terus aja mengalir deras, tapi tanpa suara. 

Jika aku mengeluarkan suara saat menangis, aku yakin ayah pasti akan semakin marah. Iya, aku terbiasa menyiapkan keperluan sekolahku sendiri karena ibu berangkat kerja pukul 3 pagi dan pulang pukul 11 malam, karena adikku masih berusia 4 tahun jadi ibu selalu mengajakknya bekerja. Kami jarang ngobrol, aku menghabiskan waktuku untuk menangisi lukaku sendirian. Apapun yang dilakukan ayah, aku selalu bisa menerima. 

Tapi mungin sebenarnya aku menyimpan marah yang aku sendiri tidak menyadari hingga pada suatu hari aku melampiaskan marahku saat ayah mulai mengomeliku sebab terlambat bangun pagi. Ayah marah dan memukul punggungku dengan sangat keras hingga aku jatuh tersungkur. Tangisku pecah sampai tak bersuara tapi ia enggan menolong. Ayah melenggang pergi dan membiarkanku bangun sendirian. Aku tidak pernah punya kesempatan untuk bercerita kepada siapapun, termasuk ibu. 

Dalam rentang waktu satu minggu bisa dikatakan aku haya bisa ngobrol bareng ibu satu atau dua jam saja. Mungkin semua lukaku akan sembuh seiring waktu, tapi rasa marahku pada keadaan akan terus tersimpan entah sampai kapan. Bahkan saat kini aku menginjak remaja, bayangan -- bayangan kejadian iu terus menghantui dan aku punya ketakutan tersendiri pada setiap teman laki -- laki yang kujumpai. Entah mengapa, aku mencari-cari rasa sayangku pada sosok ayah. Tapi tidak ada, perasaan cinta kepada ayahku seakan hilang. Apakah ia benar-benar hilang ayau justru memang tidak pernah ada ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun