Mohon tunggu...
Ikah Sholikhah
Ikah Sholikhah Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Mahasisiwi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta- Prodi Ekonomi dan Perbankan Islam

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya Hanya Ingin…

19 Desember 2014   23:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:56 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang Ibu, tak ada yang tak istimewa darinya. Tanpa dia, kita tak akan pernah ada di dunia. Tanpa dia, kita tak akan bisa sampai sedemikian hingga sekarang. Tanpa bimbingannya, kita bak tak punya arah tujuan. Ya seperti anak kebanyakan, banyak sekali hal yang ingin saya wujudkan untuk ibu saya. Namun, ada hal yang ingin saya wujudkan dalam waktu dekat. Sayangnya, karena saya belum bekerja, jadinya saya belum mampu merealisasikan impian saya itu, karena saya tahu keinginan saya itu akan memakan banyak biaya. Sebenarnya, impian saya simple simple saja. Saya cuma ingin memeriksakan ibu saya ke dokter karena selama ini ibu saya sering mengeluh sakit pada punggungnya. Entahlah, itu sebenarnya penyakit apa. Saya juga kurang tahu. Dulu, ibu saya sudah sering memeriksakan keluhannya itu ke sana kemari, mulai dari ke dokter umum, ke dokter spesialis, sudah melakukan terapi juga, sudah pernah dirontgen, bahkan ibu saya sudah pernah pula mengupayakan kesembuhan ke pengobatan alternative. Sayangnya, semua yang pernah dilakukan belum menunjukkan hasil yang maksimal. Terkadang, saya juga tak habis pikir. Penyakit apa sebenarnya yang diderita oleh ibu saya? Waktu di cek asam uratnya, katanya normal normal saja. Tetapi, kenapa sampai saat ini belum sembuh juga? Dulu, waktu keluhannya itu baru awal muncul, kata dokter yang menangani, kemungkinan ada syaraf yang terjepit di daerah tulang belakang. Saya jadi teringat dengan cerita ibu saya waktu itu. Dulu, katanya saat ibu masih muda, ibu sering mengangkat-angkat barang berat. Yah, karena keluarga kami memang kehidupannya di desa, jadi masih sangat kental lah dengan yang namanya bertani ataupun bercocok tanam. Waktu itu katanya setiap nenek dan kakek saya panen, ibu saya sering ikut mengangkat hasil panen. Tidak tanggung tanggung, katanya beratnya bisa sampai satu karung gula pasir besar. Untuk ukuran seorang perempuan, itu termasuk sangat berat. Itu pun harus di bawa jauh. Kata ibu waktu itu sih, seingat saya, itu sudah menjadi hal biasa dan tidak ada keluhan apa-apa saat itu. Hanya saja, ternyata efeknya beberapa puluh tahun kemudian. Ibu sering mengeluhkan sakit dan nyeri pada punggungnya sekarang. Apalagi setiap pagi, sehabis bangun tidur, pasti Ibu susah jalan. Untuk bangun hingga berdiri saja susah. Kalaupun Ibu bisa jalan, pasti tidak bisa tegak. Selalu membungkuk. Berbagai upaya pun sebenarnya sudah dilakukan. Ibu juga sering meminum jamu tradisional yang cara membuatnya harus direbus dulu, dan rasanya astaga…pahit sekali. Bahkan, sampai sekarang pun ibu masih sering mengonsumsi obat yang dibeli di apotek. Sebenarnya, efek dari obatnya tidak terlalu berarti, hanya saja kata ibu, agak mendingan lah daripada tidak mengonsumsi obat sama sekali. Hanya untuk meringankan rasa sakitnya saja, bukan menyembuhkan. Terkadang, saya juga was-was kalau ibu mengonsumsi obat secara terus menerus seperti itu. Itu kan obat kimia, saya takutnya kalau ada efek samping dari obatnya beberapa tahun kemudian. Seperti kita tahu, kalau dikit dikit minum obat kan juga tidak baik kan? Kalau terakumulasi di ginjal kan juga tidak baik jadinya. Tapi bagaimana lagi?

Ibu saya memang ibu yang kuat dan hebat. Sejak dari Ibu masih menjadi Ibu muda, Ibu saya memang sudah sering dihadapkan dengan hal yang mungkin cukup menguras waktu, tenaga, biaya dan air matanya. Dulu, saat keluarga kami masih istilahnya keluarga kecil, keadaan ekonomi keluarga kami memang bisa dibilang cukup sulit. Hingga suatu ketika, anak pertama dikeluarga kami, yaitu kakak saya, lahir ke dunia. Saat kakak saya masih berumur beberapa bulan, kakak saya mengalami demam tinggi. Demamnya bukan sekedar demam biasa. Suatu ketika, saat demam kakak saya masih tinggi dan belum turun turun, kakak saya malah  mengalami kejang-kejang. Ia pun langsung dilarikan ke sebuah rumah sakit di kota, yang peralatannya cukup lengkap dan canggih karena kalau rumah sakit biasa peralatannya belum memadai. Ternyata apa yang terjadi? Kakak saya menderita penyakit meningitis. Iya, radang selaput otak. Lemaslah orang tua saya saat itu, mengingat biaya yang dikeluarkan pasti akan sangat banyak. Selain itu, keadaan kakak saya pun sudah sangat kritis, bahkan matanya sudah menghadap ke atas terus, titik hitam pada bola matanya sudah tak terlihat. Itulah mengapa, kalau kakak saya dulu saat kecil sering nakal, ibu saya selalu mengingatkan, “Kowe ki mbiyen uripe we wis diusahakke, diupayakke supayane tetep urip, sehat, wong mbiyen kowe ki wis kritis, kok isa isa ne saiki malah nakal, ra manut karo wong tuwa’ (Dulu itu hidupmu sudah diupayakan, diusahakan supaya tetap hidup, sehat. Dulu itu kamu sudah kritis. Sekarang kok bisa-bisanya malah nakal, tidak patuh sama orang tua). Setiap kali ibu bilang begitu, pasti kakak saya langsung diam. Tak hanya itu, dulu, saat Ibu baru punya anak satu, yaitu kakak saya, Ibu pernah didiagnosis menderita kanker payudara. Ibu bahkan sudah pernah operasi sampai beberapa kali, hingga biaya yang dikeluarkann cukup banyak. Kalau dulu ibu pernah cerita, sebenarnya ibu juga sudah pasrah dengan penyakitnya, ya walaupun segala usaha sudah pernah diupayakan sebenarnya. Kalau sampai sekarang, hingga saya sebesar sekarang ini ibu masih hidup, katanya itu bonus karena dulu ibu pernah didiagnosis umurnya tidak lama lagi. Jujur saja, pertama kali saya mendengar cerita itu langsung dari Ibu, waktu saya  masih kelas dua sekolah dasar. Mendengar itu, saya langsung menangis dan memeluk Ibu saya. Kenapa harus ibu ? Namun, ibu saya selalu berkata, kalau semua itu ujian supaya kita tetap kuat dan ingat dengan Gusti Allah. Memang saya akui, sungguh lembut hati ibu saya. Ia memang tegas dan galak terhadap anaknya, bahkan saat masih kecil dulu saya sering bertanya-tanya, kenapa ibu saya segalak itu? Namun, dibalik semua itu, hatinya memang lembut, sangat lembut. Galaknya dan tegasnya itu, katanya semata-mata karena ia sayang kepada kami, anak-anaknya, supaya kita tidak salah melangkah, supaya kesalahan yang pernah kami lakukan tidak akan kami lakukan kembali. Masih teringat sekali, waktu saya sakit tipus. Ibu memboncengkan saya pergi ke klinik naik sepeda pagi-pagi, yang jaraknya cukup jauh, hingga membuat ibu terengah-engah saat turun dari sepeda. Semua itu ia lakukan hanya untuk saya, anaknya. Saat saya harus rutin minum obat pun, ibulah yang selalu mengambilkan dan mengingatkan saya, bahkan saat saya tipus dan sering muntah pun ibulah yang rela membersihkannya. Ia juga yang sering membelikan makanan kesukaan saya saat saya sakit dan tidak nafsu makan. Buah-buahan, makanan dan minuman kesukaan saya selalu ia upayakan kalau saya sedang sakit karena memang saya orangnya susah makan kalau sedang sakit. Masih teringat juga saat saya kelas tiga SMP, saat saya jatuh dari sepeda dan saya tidak bisa jalan, ibu lah yang memboncengkan saya pergi ke dokter karena saya memang susah jalan. Bahkan, saat saya mandi pun harus dibantu ibu saya karena untuk jalan saja saya butuh bantuan. Sampai saat saya masuk SMA pun ibu masih sering membantu saya. Saat saya sedang ribet dan bingung mempersiapkan perlengkapan MOS, tanpa perlu diminta pun ibu ikut mencari barang yang sekiranya harus saya bawa saat MOS. Ibu juga rela bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan makanan yang harus saya bawa saat MOS, dan ikut membantu membuat atribut MOS saya. Ibu memang orangnya peduli sekali. Sekarang saya kelas XII, saya sering pulang maghrib karena seharian sekolah dan les di luar. Setiap kali saya pulang dan sampai rumah, pasti ibu sudah menyiapkan air hangat untuk mandi saya, katanya biar capeknya hilang. Makanan yang masih hangat pun pasti sudah ibu sediakan saat saya sampai rumah. Saya terkadang juga heran, meski ibu masih sering sakit punggung, tapi ia masih mau meluangkan waktunya untuk saya, padahal saya tahu jika ibu pasti sudah sangat lelah karena seharian beraktivitas. Hingga suatu ketika, saya malah dapat ujian lagi. Saya waktu itu jatuh dari mobil sekolah hingga membuat tangan kanan saya retak dan tak bisa bergerak. Lagi-lagi ibulah orang yang pertama kali harus saya repotkan. Bagaimana tidak, saya mandi saja harus dibantu ibu karena tangan saya tidak bisa digerakkan. Baju baju saya pun akhirnya yang mencuci juga harus ibu lagi. Saat saya kesusahan mengerjakan sesuatu karena terhambat dengan tangan saya yang retak, pada akhirnya yang harus saya repotkan juga ibu lagi. Pada saat saat yang seperti inilah, saya benar benar merasakan bahwa kasih sayang ibu itu memang tak ada habisnya, meski kita banyak salah, sering marah marah atau bahkan sering membuat ibu menangis karena kelakuan kita, ia tetap saja mencurahkan segala kasih sayangnya kepada kita. Terkadang saya merasa berdosa sekali karena sering merepotkan ibu. Saya teringat waktu saya masih kelas dua SMP. Ya namanya mulai memasuki masa remaja, waktu itu saya terlibat cinta monyet dengan teman sekelas saya. Hingga akhirnya jadian dan memutuskan pacaran. Memang, secara tidak langsung ada perubahan dalam diri saya saat itu. Saya jadi sering pegang HP, bahkan sampai siang malam pegang HP cuma untuk SMS-an denga pacar saya. Saya kira ibu tidak tahu dengan hal itu, namun ternyata lama kelamaan ibu tahu kalau saya sudah berani pacaran. Awalnya ibu marah ketika tahu saya pacaran, ditambah lagi saya pacaran dengan anak laki-laki yang beda agama. Ibu saya saat itu menentang sekali, namun saya tetap saja ngeyel dan tidak mendengarkan omongan ibu saya. Alhasil, saya tetap melanjutkan hubungan saya dengan pacar saya itu. Selama pacaran  itu, saya memang jadi sering marah-marahan dengan ibu saya karena pacar saya. Ya alasannya mulai dari karena kita beda agama dan karena pacar saya itu orangnya agak nakal. Namun saya selalu saja bandel, dan bilang kalau cinta itu buta. Nggak pandang segalanya. Hingga akhirnya, suatu ketika saya putus dengan pacar saya. Asal tahu saja, saya saat itu nangisnya sampai tumpah-tumpah. Saya dilanda galau berat. Menyesallah saya karena saya pernah tak menghiraukan perkataan ibu saya. Lebih menyesal lagi karena ibulah orang pertama yang mau menenangkan kegundahan hati saya pasca saya putus dengan pacar saya. Berdosa sekali rasanya saya pernah menentang perkataan ibu, karena pada akhirnya saya larinya ke ibu saat saya sedang galau dan sedih. Maka dari itu, saya sering berkata pada diri saya sendiri, bahwa suatu saat nanti saya harus jadi orang sukses agar bisa mengguratkan lengkungan senyum di wajah ibu untuk menebus segala dosa dan kesalahan yang pernah saya lakukan, meski sebenarnya saya tak kan pernah bisa mampu menebusnya. Saya harus sekolah setinggi-tingginya, harus berprestasi dan harus cepat lulus. Dan waktu yang paling mendebar-debarkan dalam hidup saya adalah saat penerimaan rapor semester karena saat itulah nama saya istilahnya dipertaruhkan. Saya sangat takut kalau-kalau nilai saya tidak memuaskan dan rangking saya jeblok. Saya takut melukis kesedihan diwajah orang tua saya, terutama ibu saya. Namun, Alhamdulillah, selama saya sekolah, saya selalu bisa rangking paling tidak tiga besar di kelas dan di sekolah. Entah kenapa, kalau saya rangking, orang yang pertama kali saya ingat adalah ibu saya. Pastilah ibu yang dapat membuat saya seperti ini, pastilah ibu yang selalu menyelipkan namaku, harapannya untuk ku, dan harapannya atas segala  kesuksesannku di dalam setiap lantunan doa setiap ia selesai shalat. Saya sering bertanya-tanya dalam hati, bahagiakah ibu dengan apa yang telah saya capai? Apakah aku tak mengecewakannya?

Suatu ketika, saat saya kelas XI, lagi lagi ibu saya mendapat cobaan. Selama kurang lebih dua minggu, ibu saya mengalami datang bulan , namun tak juga berhenti. Ibu bercerita kepada saya dan bilang kenapa haidnya nggak berhenti-berhenti. Ya sebagai anak saya awalnya Cuma bisa menenangkan, saya bilang “mungkin kecapekan, atau mungkin karena banyak pikiran jadinya lama.” Namun, hingga dua bulan tetap saja tidak berhenti-henti, hingga akhirnya saya menyarankan ibu untuk pergi ke salah satu Shinse di daerah Yogya, yang dulu pernah menangani saya waktu tipus. Akhirnya, berobatlah ibu ke sana dan didapati kalau ibu ternyata menderita mium. Kagetlah saya, karena lagi-lagi ibu harus mendapatkan penyakit yang sedemikian rupa. Kenapa harus ibu lagi ? Tak tega saya melihatnya, karena setiap hari harus minum obat lagi, harus minum jamu lagi, dan harus melihat ibu muntah muntah karena ternyata juga ada gangguan syaraf pada perutnya. Setiap pagi saja saya sudah tak tega melihatnya kesakitan karena punggungnya, apalagi kalau sakitnya sedang parah-parahnya. Melihat itu, biasanya saya langsung masuk kamar dan menangis karena tak mau kalau ibu melihat saya menangis. Setiap pagi, ia harus meringis menahan sakit, padahal tetap harus mengantar adik saya sekolah naik sepeda. Tapi, ia memang kuat. Lagi-lagi ibu dapat melaluinya.

Keinginan saya yang paling besar, yang pertama hanya ingin memeriksakan ibu ke dokter, ingin melakukan check up , dan menuntaskan segala penyakit yang selama ini membuatnya kesusahan, terutama sakit punggungnya yang sampai saat ini entah itu penyakit apa. Ingin sekali saya melihat ibu setiap pagi bisa berjalan normal, tidak kesakitan, dan tidak mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas. Ingin sekali saya melihatnya seperti dulu saat saya masih kecil, saat ia sering memboncengkan saya naik sepeda setiap pagi tanpa harus merasa sakit. Ingin sekali rasanya melihat ibu sehat kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun