Seorang teman dengan semangatnya menceritakan bahwa selama 2 tahun hidup di kota Malang tidak pernah sekalipun jalan-jalan di sekitar Malang dan sekitarnya. Padahal semua orang tau bahwa kota Malang penuh dengan tempat-tempat wisata yang menarik. Tempat wisata gratis pun ada. Tapi dia begitu jujurnya mengatakan bahwa dia tidak ingin jalan-jalan kemanapun. Kubilang mungkin bukan jalan-jalan, melainkan refreshing di semua tempat-tempat menarik di kota Malang. Dia pun tak bergeming. Jika tidak ada kuliah, apa yang dia lakukan coba? Ternyata dia menyukai mencuci baju. Seorang pria 51 tahun hobi mencuci baju? Kayaknya patut dipertanyakan. Hihihi. Begitu jujurnya temenku ini, seorang bapak yang sedang menempuh studi Doktor di UB.
Selama ini tak sekalipun dia merasakan enaknya naik angkot. Lah naik angkot apa enaknya yah? :p
Tapi alasannya lucu banget, dia begitu suka jalan kaki. Tapi anda tahu jarak rumah kos nya dengan kampus UB? Bisa 2km panjangnya. Sehingga pulang pergi ditempuh jarak 4km. Saya kira itu bukan ngirit lagi, tapi mungkin PELIT. Naik angkot sangat tidak mahal di kota Malang, antara 3000 rupiah hingga 4000 rupiah. Dan parahnya dia bilang saya bisa mengirit uang 8000 rupiah yang bisa saya belikan makan. Wew.. saya hampir tidak habis pikir dengan fenomena itu. Begitu nelangsanya temenku ini, hingga dibela-belain untuk jalan kaki dari rumah kosnya ke kampus UB. Saat ini kukira jarang orang menempuh perjalanan sejauh itu menuju tempat kuliah, karena disamping ongkos angkot yang tidak terlalu mahal, juga jalan di sekitar itu yang dilalui laju kendaraan yang cukup cepat. Jalan pedestrian di Dinoyo juga tidak memungkinkan orang untuk melenggang karena memang tidak ada. Sehingga banyak kekhawatiran2 bagi para pejalan kaki akan tersenggol oleh semua kendaraan yang lalu lalang.
Sedikit menerawang pria paro baya itu menceritakan tentang anak dan istrinya yang tinggal di Bogor. Istrinya menempuh studi doktor nya, anak-anaknya mengikuti perjalanan studi istrinya di Bogor. Sehingga semua membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di UB pun tak jarang bapak dua anak ini memprotes beberapa kebijakan universitas tentang konsumsi yang harus disediakan mahasiswa untuk ujian kelayakan, terbuka dll. Menurut dia ini sangat memberatkan. Dia bilang dia tak pernah sekalipun makan buah yang namanya anggur, disaat dia harus menghidangkan buah-buahan yang notabene mahal tersebut saat ujian. Ini berat buat dia. Tapi mungkin bagiku ini tragis. Masak nggak pernah makan anggur sih, walau satu. Qeqeqe..
Yah artinya bahwa menghadirkan hidangan buah-buahan, dan mungkin makanan ringan itu tidak menjadi berat hingga harus jual motor. Entah apa yang ada di pikiran si bapak ini hingga begitu tragis beliau menceritakan, sepertinya berat sekali beban hidup yang dia tanggung. Dari harus mengirit naik angkot karena uangnya bisa dipergunakan untuk sekali makan, sampai harus protes demo di UB untuk mengurangi kebijakan menghadirkan konsumsi saat ujian. Saya yakin saat seseorang berniat untuk studi lanjut sudah pasti akan memikirkan konsekwensi finansial yang akan diemban. Saya sangat heran dengan fenomena unik si bapak. Beliau yang berasal dari Sulawesi Selatan, yang saya paham orang SULSEL itu begitu gengsi dan mempertahankan martabat dan malu. Kalau toh memang sampai nggak punya, mungkin sebaiknya tidak sampai terungkap di ujung mulut. Yang saya tau teman-teman Sulawesi saya seperti itu. Tapi entah lah..
Baru saya ingat beberapa waktu lalu sahabat saya kak Buyung melaksanakan ujian tertutupnya di UB. Saya begitu bangga bagaimana cara beliau menghormati semua dosen penguji, pembimbing dan promotornya. Dan mungkin seperti itu lah idealnya. Toh bagaimanapun prosesnya tak perlu lah orang lain tau. Yang kita tau adalah kak Buyung melaksanakan ujian disertasinya dengan lancar dan mendapatkan nilai memuaskan. Sedangkan kemudian beliau mendatangkan keluarga dan menyadiakan fasilitas untuk tamu dan dosen, saya yakin semua sangat memahami bahwa itulah cara mahasiswa menghormati bagaimana pelaksanaan ujian disertasi tertutup itu dengan baik. Dan semua ittikad baiknya menjadi memori tersendiri bagi para dosen pembimbing, penguji dan promotor yang notabene adalah semua orang Jawa. Semua tamu bisa jadi adalah orang SULAWESI sehingga kita seolah-olah merasa berada di UNHAS Makassar.
Sesampai di rumah pun saya masih merenung lama memikirkan teman saya si bapak yang lagi studi Doktor bidang Lingkungan di Pasca UB itu. Sempat dia melarang saya untuk mencoba-coba studi di Pasca UNHAS. Sayapun sebenarnya tidak pernah sedikitpun berpikir untuk mengambil Pasca disana. Bukan apa, jauhnyaaa..
Namun kemudian saya seolah tertantang oleh perkataan beliau bahwa saya yang orang Jawa tidak mungkin berhadapan dengan dosen-dosen UNHAS yang menurut dia ego. Saya jadi agak tersinggung. Saya sampaikan bahwa saya sudah berkomunikasi dengan orang Sulawesi dari sejak tahun 2006, saya tau betul karakter mereka. Sehingga saya tidak pernah mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang Sulawesi. Entah dia begitu skeptik terhadap para pengajar di UNHAS. Saya kira di tempat kuliah saya di UM juga seperti itu, bahwa banyak mahasiswa mengalami drop out gara-gara kesulitan berkomunikasi sosial dengan dosen. Itu hanya masalah bagaimana kita merespon saja. Hanya dari pribadi masing-masing yang bisa menjawab, bahwa kamu bisa beretika komunikasi yang benar atau tidak. Seorang dosen pun tidak akan dengan senang terus menerus menyiksa mahasiswa, apalagi tanpa alasan yang jelas. Saya sampaikan bahwa mungkin anda perlu mengetahui siapa saya lebih mendalam karena saya tidak hanya berkomunikasi sosial dengan masyarakat SULSEL, namun saya juga menulis budaya dan antropologi SULSEL. Artinya saya sangat bisa memahami siapa dan apa SULSEL itu. Entah kenapa sampai saat saya menulis inipun, apa yang dia bilang masih sangat membekas di hati saya. Hampir semua lokasi penting di SULSEL sudah kudatangi, begitu pula orang-orangnya yang saya ajak secara langsung untuk berkomunikasi sosial. Di Sidrap, di Wajo, di Makassar, di Bone..saya sangat menjunjung tinggi budaya dan adat istiadat orang SULSEL. Apapun dan seperti apapun. Tidak ada budaya yang lebih tinggi dan lebih baik dari budaya yang lain. Itu yang selalu saya pegang sampai saat ini.
Baru kemudian beberapa waktu setelah pembicaraan dengan beliau, sepertinya beliau ingin pulang dan kemudian pamit kepada saya. Ughh saya agak lega setelah melalui perdebatan tersebut. Bisik2 kemudian teman2 yang masih disana mengatakan pada saya kalau si bapak itu baru saja sembuh dari depresinya.
Astagah!
Jadi aku tadi ngobrol sama 90% person??