Mohon tunggu...
Ika Devita Susanti
Ika Devita Susanti Mohon Tunggu... -

*I could be a writer, reader, singer and whatever you could imagine*

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tragisnya Hatiku

11 Desember 2011   12:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:31 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masih aku pandangi tubuh yang berdarah itu. Tidak bergerak. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Mereka selalu mengatakan aku bodoh. Aku tidak tahu apa-apa. Aku terlalu polos. Aku lugu. Aku . . .

Ah . . . masih banyak lagi kata-kata buruk yang mereka sampaikan ke aku. Aku tidak tahu harus sedih atau merasa terharu. Kadang aku ingin terus menjadi seperti ini. Berpura-pura tidak tahu. Berpura-pura seolah-olah aku bodoh dan tidak mengerti apa-apa. Berpura-pura aneh. Tetapi ini lain. Aku tidak bermaksud melakukan ini. Aku tidak bermaksud sampai ke tahap ini. Sungguh. Saat seperti ini, aku ingin orang lain mengambil alih. Aku ingin ada yang melihat kebimbanganku. Aku ingin seseorang menolongku dan memberitahuku apa yang harus aku lakukan. Aku bingung. Aku ingin menjadi bodoh. Biarkan saja orang-orang itu mencelaku. Biarkan saja orang-orang itu menganggap aku bodoh. Paling tidak, itu satu-satunya alasan agar aku terlepas dari masalah ini. Hatiku Tidak!benar-benar beku. Aku tidak ingin seperti ini. Tolong . . . tolong-tolong aku! Hatiku menjerit sekencang-kencangnya. Aku tahu ini tidak ada gunanya. Mereka tidak dapat mendengar jeritan hatiku. Lalu aku harus bagaimana? Aku tahu. Aku tahu caranya. Aku harus lari dari tempat ini. Aku harus pergi. Aku tidak boleh tetap di sini. Ya. Aku harus pergi. Kulemparkan pisau yang kugenggam. Aku segera mencari jalan keluar. Tidak ada jendela. Satu-satunya jalan hanyalah pintu itu. Tidak! Ada suara orang mendekat. Mungkinkah itu kekasihku. Tidak! Dia tidak boleh tahu. Tidak! “Sayang, kamu dimana?” Oh tidak, dia memanggilku aku harus segera . . . Braaak! “Sayang, kamu kenapa?” Sambil mencengkeram kedua lenganku, dia tampak bingung. Maafkan aku sayang . . . “Eh . . . erm . . . a . . . aku . . . aku . . . ” “Loh, katanya mau buat ayam goreng. Kok ayamnya berantakan gini, sayang? Ayo sini aku bantu.” Whew . . . Ternyata dia tidak mengejekku. Dia memang baik. Tidak apalah orang menganggap aku bodoh. Aku memilikinya. Itu cukup bagiku. (*) ***************************** Gambar diambil dari: http://jenniengledow.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun