oleh : Ika Deka (No. 192)
Ia adalah kumpulan cinta di ujung harap, merangkul di saat kau terpuruk jatuh. Ia adalah ketulusan di setiap hembusan nafas, memberi lebih tanpa mengharap balas. Ia, tempat segala ketidakberdayaanku bermuara, tempat timbunan semangatku kembali berjaya. Ia, anugerah terindah dalam hidupku, Ibu...
Tanyalah sampai pada ujung dunia sekalipun, adakah mereka yang tidak mencintai ibunya? Tentu saja tidak akan ada. Lalu tanyalah pula hingga bumi habis kau kelilingi, adakah mereka yang mampu membalas lunas semua jasa dan pengorbanan ibu? Jawab yang sama tentu akan sampai juga di telingamu. Tidak akan pernah ada.
Mengingat kata Ibu seperti mengingat bahwa kau memiliki dua mata. Selalu membekas abadi di memorimu, tak kan sanggup terlupakan hingga seumur hidupmu. Sama halnya denganku, membangkitkan kenangan tentangnya selalu menyadarkan betapa berharga sosoknya. Meski kini ia telah tiada, meski kini wujudnya telah hanya terkristal abadi dalam hatiku.
Sebingkai senyummu bersamaku Ibu, membangkitkan kembali berjuta kengangan yang kau ukir di benakku. Sejak saat kali pertama mataku membuka, hanya sosokmu yang seterusnya ingin selalu kutatap, dan menjadi yang paling utama ingin kutemukan ketika kau jauh. Sedari dulu merawatku dengan sejuta kemanjaan dan kekuranganku, nyatanya tak membuatmu jera dan pergi meninggalkanku. Kau justru semakin merangkulku dalam dekap kasih sayangmu.
Sungguh tak pernah aku tahu terbuat dari apa sebetulnya hatimu, yang lebih lembut dari kapas, namun juga sekuat bongkahan baja, sering pula berkilau serupa butir kristal. Entahlah, yang kutahu hanyalah kau, perempuan paling sempurna yang pernah kukenal. Kau memberiku segalanya, bahkan tanpa pernah ucapku untuk memintanya. Melindungiku bahkan dari kejahatan pikiranku sendiri. Kau menemani langkahku melewati berbagai fase kehidupanku. Tak pernah menginginkan setitik balas pun dariku, membuatmu serupa bidadari pribadiku.
Ibu, kau selalu menjadi yang pertama kali gembira saat melihatku senang, kau pula lah yang pertama kali terluka saat melihatku bersedih. Ibu, orang yang tak pernah absen sedetik pun dalam menyayangiku. Kau lah yang tak pernah bosan memompa semangatku saat tak ada orang lain yang melakukannya, kau pula yang selalu bersedia menampung seluruh keluh kesahku ketika tak ada satu orang pun yang bahkan merasa peduli. Betapa beruntungnya aku, dalam kesendirianku sosokmu selalu hadir, tak kan pernah terbayangkan bagiku, kau, akan pergi meninggalkanku.
Ibu, ketika sadarku kian lenyap di ujung kesakitan, kau menjadi orang yang paling cemas akan keadaanku, apapun akan kau lakukan demi menjamin kesembuhanku. Dan kini, saat tiba semua keadaan berbalik, tubuhmu tak lagi sekuat dulu, hanya mampu melakukan sesuatu dengan bantuan orang lain. Seketika aku hancur Ibu, melihatmu begitu kepayahan dalam balutan kulit yang kian menipis. Hanya ada kuyu yang menghiasi mata indahmu.
Dan penyakit itu terus saja menggerogotimu, namun kau tak pernah mengenal lelah melawannya hingga bertahun-tahun. Tak pernah mau dicemaskan oleh orang lain, tak pernah mau dicemaskan olehku. Berkali-kali kau keluar masuk ketempat serba putih itu, tempat yang sangat tak kusukai. Tak sanggup rasanya melihat kulit keringmu tertusuk jarum-jarum itu, tak kuat rasanya memandangmu yang menolak untuk makan dan minum. Kalau saja aku bisa menggantikanmu ibu, biar saja aku yang berada di posisimu sekarang.
Memang, kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak hanya seukuran galah. Aku, si anak manja, betul-betul tak tau lagi apa yang harus dilakukan. Aku, si anak yang tak bisa apa-apa, hanya mampu menangis diam-diam di tengah malam mengingat keadaanmu, mendoakanmu. Namun kau masih bertahan ibu, kau masih bertahan untukku. Hingga saat aku berada di titik ujung pendidikanku, saat aku harus segera menyelesaikan misi skripsi untuk bisa berhasil lulus, sakitmu kian menjadi ibu, membuatku segera putus asa dan memutuskan untuk berhenti berjuang. Aku hanya ingin merawatmu, aku hanya ingin menaruh seluruh perhatian padamu, aku hanya ingin kau sembuh, ibu.
Ibu, ingatkah kau saat kau tak mau lagi melakukan kemoterapi yang disarankan dokter? Saat itu aku melihat perih yang amat sangat dalam matamu, derita yang dengan tega hinggap dalam sosok malaikatmu. Aku memelukmu ibu, bagilah sakitmu padaku, alihkan semua pedihmu padaku. Jangan dulu menyerah ibu, saat aku belum sempat membahagiakanmu, saat aku belum sempat merasakan belaian banggamu padaku. Akan aku lakukan apapun untukmu, menjagamu setiap waktu, membuatkan makanan kesukaanmu....
Namun kini, kau kembali dirawat di rumah sakit itu, kala tubuhmu tak sanggup lagi menahan laju penyakit yang kian cepat menjalari seluruh ragamu, kala kau merasa tak sanggup lagi bertahan. Hatiku menjerit ibu, saat nyatanya dokter mengharuskanmu untuk beristirahat di ruang ICU dengan banyaknya alat medis yang menempel di sekujur tubuh lemahmu, terlihat begitu menyakitimu, meski akhirnya kau kembali dirawat di ruang inap reguler, namun kekalutanku tak juga surut, ketakutanku akan kehilanganmu tak juga padam.
Masih terngiang dalam memoriku, satu ucap yang sempat kau lontarkan melalui suara letihmu, dengan senyum yang terumbar lemah, kau mengatakan langsung padaku, kalimat yang rasanya tak pantas aku dapatkan darimu ibu, kalimat yang akan membekas selamanya dalam hidupku; “.. terima kasih, nak..” itulah ucapmu, yang tak pernah kusangka akan menjadi kata terakhirmu untukku.
Dan siang itu, sehari menjelang saat kelahiranku ke dunia ini, kau sudah tak lagi mampu berbicara. Dan di antara tangisku yang terasa tak bisa terhenti, aku membisikimu dengan kalimat-kalimat dzikir, serta terutama, memohon maaf atas segala kesalahan dan dosa yang sering kulakukan padamu. Namun, di atas segala khilaf yang kulakukan, dan jauh di lubuk hati, aku teramat menyanyangimu. Dan di rumah kita, tak hentinya aku mendampingimu, dan memohon kepada sang Kuasa, bila memang jalan ini yang terbaik, ambillah ibu dengan segera, tak tega aku melihatnya kesakitan lebih lama lagi. Maka, usai ku bersujud padaNya, kau menghembuskan nafas terakhirmu, tepat di depan mataku yang kabur, membuatku seolah lupa cara untuk bernafas, begitu berat dan tersengal.
***
Kini, saat aku menghantarkanmu ke tempat tidur terakhirmu Ibu, saat hatiku tak lagi mampu merasa, dan air mata seolah telah kering, aku hanya ingin ikut denganmu. Aku masih ingin mencium kedua pipimu, masih rindu memeluk hangat tubuhmu. Di hari kau melahirkanku ke dunia, kau justru berpulang, pergi untuk selamanya, tepat di hari saat semua orang memberi penghargaan bagi setiap Ibu. Hingga kesadaran perlahan menghinggapiku, dan kenyataan mulai menamparku. Inilah kado terindah dari Tuhan untukku, mengangkat semua derita Ibu, serta memberi kesempatan bagi kesabaranku untuk tumbuh.
Menangisi kepergianmu memang sebuah kewajaran, namun bukanlah hal yang bijak untuk terus dilakukan. Bila usaha manusia tak lagi berharga di hadapan kuasa Sang Pencipta, maka kewajiban kita adalah untuk menerimanya, dengan berjuta kelapangan hati, dengan ikhlas yang tak berujung. Tak ada yang bisa dilakukan manusia yang ditinggalkan hanya selain doa yang tak putus bagi yang meninggalkan. Kematian, memiliki jalan sendiri untuk hadir, ia datang tanpa seuntai kesiapan, menyadarkanku betapa berharga artimu Ibu. Bila saja ada peringatan, tak pernah kan kusakiti hatimu Ibu, bila saja ada sedikit lagi waktu, kan kuungkapkan rasa sayang yang enggan tersampaikan sedari dulu..
Namun, perlahan mulai kubuka mata, menghadapi dunia yang bergeming, seolah memperolokku akan keterpurukan yang tak perlu. Seperti salah satu pesanmu jauh sebelum ini Ibu, untuk tetap berjuang di akhir pendidikanku. Pesan yang pelan namun pasti mulai terpatri kuat di hatiku, menuntunku untuk melangkah lagi, dan menyelesaikan tugas akhir yang seribu kali terasa lebih berat tanpa kau mendampingiku Ibu. Satu sesal yang tak kunjung pudar di sanubariku Ibu, saat kau tak bisa menemaniku di hari bahagiaku, hari perayaanku saat berhasil lulus dari perguruan tinggi. Namun aku percaya Ibu, meski ragamu tak lagi dapat tertangkap mata, jiwa dan hatimu yang tinggal di relung dan memoriku, turut bahagia akan keberhasilanku.
Terima kasih atas segala yang kau beri untukku seumur hidupku Ibu, terima kasih atas beruntai doa yang selalu mengalir untukku. Sembah syukurpun tak pernah lupa kuucapkan padaMu Tuhan, telah menciptakan wanita semulia Ibu untuk hadir dalam hidupku, menjadi hartaku yang paling berharga. Maka, terimalah ia di sisiMu Tuhan, ampunilah semua dosa-dosanya, permudahkanlah jalannya menuju surgaMu. Satu yang selalu kupinta di sepanjang sisa usiaku Tuhan, untuk pertemukan kami di surgaMu kelak. Dan kan kusampaikan luapan rinduku padamu Ibu, melalui luapan doaku untukmu. Berjuta kali yang aku rapalkan selalu dalam hati, kata yang tak sempat ku ucapkan di kala sehatmu, kata yang timbul dari lubuk hatiku yang terdalam; aku mencintaimu Ibu, terima kasih telah bersedia hidup untukku, terima kasih atas desah nafasmu yang menentramkan hatiku, terima untuk peluk cium hangatmu, terima kasih, Ibu...
Kematian hanyalah sekedar menyeberangi dunia, seperti teman yang menyeberangi lautan; mereka masih hidup dalam diri masing-masing. Karena mereka perlu ada, cinta dan hidup dalam apa yang tidak terikat ruang dan waktu....
..... Inilah penghiburan bagi yang ditinggalkan, bahwa kehidupan mereka dinyatakan mati, namun cinta mereka, masih selalu ada, karena abadi. (Wiiliam Penn, More fruits of solitude, opening quote in Harry Potter and the Deathly Hallows book)
Home Town, 22 Des 2011_
Mother in Memoriam.
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Dan Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H