Bagi sejarawan dan masyarakat pada umumnya pasti sudah sangat paham dengan apa yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1949. Tentu masih kita masih ingat dimana overste Soeharto memimpin sebuah ‘raid’ ke kota Yogyakarta yang pada saat itu dikuasai oleh Belanda. Serangan yang dilakukan pada pagi hari dengan ditandai dengan suara sirine penanda habisnya jam malam itu telah berhasil menguasai kota yogyakarta selama kurang lebih 6 jam dengan, korban kurang lebih 2000 orang di pihak bertahan. Sedangkan kurang lebih 5000 pejuang gugur (claim dari pihak militer belanda setelah 3 hari melakukan pembersihan di seputar wilayah Yogyakarta).
Serangan ini berlangsung tepat pada 3 bulan setelah agresi militer II Belanda ke Yogyakarta. Secara perhitungan militer ini adalah serangan dalam arti strategis setelah mundur secara strategis setelah adanya perintah untuk wingate atau kembali menyusup ke daerah asala bagi pasukan yang terpaksa hijrah ke Yogyakarta, dan kembali memasuki kantong gerilya bagi pasukan Republik yang menjadikan Yogyakarta sebagai basis kekuatannya. Dalam hal ini pasukan dari Wehrkreise III, dibawah Letkol Soeharto.
Mengapa mundur secara strategis, dengan menkosongkan kota bukan berarti Republik mengalami kemunduran dalam arti militer, karena justru dengan mundur Republik mampu mengulur nafas untuk melakukan serangan yang lebih leluasa tanpa harus memikirkan sebuah pertempuran yang bersifat linier seperti halnya pertempuran yang terdahulu (front Ambarawa, Surabaya, Bandung dst). Sehingga dengan luasnya front gerilya (seperti halnya yang dialami tentara Jerman di Rusia) tidak memudahkan mobilitas yang dilakukan oleh tentara pendudukan Belanda untuk menghadapi taktik perang gerilya Republik (sekarang taktik ini diadopsi luas oleh banyak militer dunia, dan terima kasih kepada pencetusnya yang asli Indonesia yaitu Soedirman, Tan Malaka, dan Nasution). Artian strategis tidak melulu merupakan keuntungan militer dalam sebuah pertempuran tahan lama. Tetapi juga memberikan manfaat pukulan secara politik diplomasi pada perjuangan Republik.
Kita tahu bahwa pimpinan Republik dan seluruh kabinet sudah ditangkap Belanda dan diasingkan, tentu saja tidaklah mungkin pemimpin Republik (baca Soekarno-Hatta) mampu melakukan konsolidasi ke daerah. Ditambah semua orang tahu (bahkan KTN) bahwa dengan dicapnya Soekarno sebagai fasis (kasus PUTERA jaman Jepang) membuat Soekarno tidak pernah terlibat secara langsung dalam proses diplomasi Republik, mulai dari Linggarjati, Renville, Roem Royen, Bahkan KMB. Bisa di konfirmasi seluruh delegasi Republik bukanlah ‘kelompok’ politik Soekarno. Maka jelas peristiwa 6 jam ini merupakan buah pemikiran lokal yang pastinya sedikit berbeda dengan perintah harian militer lapangan dan gerilya diplomasi kita di PBB, Mesir, dan Kairo. Secara militer terlihat ,jelas dari kronologi yang disampaikan dalam biografi HB IX Tahta Untuk Rakyat, dan beberapa tulisan sejarawan senior setelah turunnya Soeharto. Bahwa jelas komando politik dan inisiatif pergerakan perlawanan di Yogyakarta pada saat itu mengacu pada peran lokal dari pemimpin daerah (kekuatan patron politik baik militer dan sipil di Yogyakarta pada saat itu cenderung mengarah pada Sultan HB IX karena jelas posisi dari komando militer yang terpecah dan mengurusi gerilya di wilayah yang luas dan pemimpin politik Republik yang mengalami pengasingan, sedangkan yang selamat berada di Luar negeri).
Kemampuan untuk mengingikuti berita dari radio BBC yang tidak dimiliki oleh elemen militer pada saat itu, membuat jelas bahwa pusat informasi dan strategi pada minggu-minggu awal akan terjadinya serangan 6 jam tersebut merupakan desain untuk menguatkan posisi diplomasi Republik yang akan diadakan di Colombo, Desain politik dari operasi militer ini adlah menjatuhkan atau medelegitimasi kekuatan diplomasi Van Mook dan Belanda yang mengatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada dan yang tertinggal adalah sekelompok pelarian politik di luar negeri dan gerombolan pengacau bersenjata yang merampok dan merusak fasilitas umum. Jadi inti sebuah serangan yang terkoordinasi yang kemudian disaksikan oleh delegasi KTN yang masih berada di Yogyakarta adalah sebuah laporan kepada PBB bahwa sebuah Republik masih memiliki sebuah komando baik sipil dan militer dalam melakukan perlawanan dan menata perjuangannya. Koordinasi semacam ini tentulah jauh dari sebuah pemikiran komandan lapangan yang menerima sebuah perintah berdasarkan surat Panglima Besar Soedirman untuk melakukan serangan umum dan berkoordinasi dengan Sultan HB IX selaku pengagas dari serbuan tersebut di sebuah pertemuan rahasiabertempat di gedung dapur Probeya Keraton Yogyakarta.
Tetapi pengambaran ini jauh dari sempurna karena hanya melihat dari sudut pandang kedaerahan saja. Tentu berbeda dengan tulisan sejarah yang dahulu berskala nasional yang malu-malu mengakui bahwa sejarah telah sedikit ….. melegitimasi kekuasaan. Selamat 6 jam di Yogyakarta
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H