Mohon tunggu...
Ikayanti Ikl
Ikayanti Ikl Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa Universitas Mulawarman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Untuk Dia yang Tak Tergantikan

23 Desember 2013   20:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nama: Ikayanti

No:  191

Ma, hari ini tanggal duapuluh dua desember. Mama tahu kan itu hari Ibu? Banyak orang berlomba mengungkapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap ibu mereka. Lihat! Betapa spesialnya kaummu Ma, sampai dibuatkan hari khusus untuk memperingati jasa-jasa kalian sebagai ibu. Tapi, Ma, di saat orang-orang sibuk mempersiapkan kado dan menulis puisi terindah untuk ibu mereka, aku malah melamun. Aku sebenarnya ingin seperti mereka, tapi aku bingung harus memulainya dari mana. Aku terlalu kaku untuk itu. Terlebih aku ini pemalu, kau tahu itu kan Ma?

Ma, kemarin aku membaca postingan salah satu grup di facebook. Isinya membuatku tersentil dan benar-benar malu. Kira-kira, isinya seperti ini:

“Ketika kita besar, terkadang kita lupa, kita bandel, bengal, melawan kata-kata seorang ibu yang telah segenap hati membesarkan kita dengan kasih yang melimpah. Dalam setiap kesempatan, kita biasa memasang foto anak/istri/pacar di FB, WA, BB, dll. Tapi, jarang pasang foto ibu. Kita sering mengucapkan cinta (tanpa batasan waktu) sama anak,istri, dan pacar, tapi untuk ibu, ingatkah kapan Anda mengucapkannya? Ingatkah kapan Anda memeluk, mencium dan mengucapkan I Love You kepadanya? Kecuali waktu-waktu tertentu seperti hari ibu, ulang tahun, dll. Padahal kita tahu yang paling sayang sama kita adalah Ibu bukan?”

Ya Allah, semua itu benar Ma. Belum pernah rasanya aku mengucapkan ‘I Love You’ atau ‘I Miss You’ kepadamu. Bahkan untuk setiap dosa yang hampir kulakukan tiap hari, aku hanya meminta maaf sekali dalam setahun, itupun bukan atas inisiatifku sendiri.

Bertepatan dengan hari ibu ini, aku mengikuti sebuah event Ma. Event ini menantang kami untuk menyampaikan perasaan dan pengalaman kami terhadap seorang Ibu. Wadah yang tepat buatku kan Ma?! Sebab aku terlalu canggung untuk berbicara langsung kepadamu. Oleh karena itu, suatu saat jika Mama membacanya, janganlah Mama marah. Inilah perasaan paling jujur yang kutuliskan untukmu.

Ma, pertama-tama aku ingin mengucapkan tak terhingga terima kasih kepadamu. Untuk perjuanganmu menjagaku di dalam kandungan, melahirkanku, menyusui, hingga merawat dan mendidikku hingga bisa sebesar sekarang ini. Untuk pengorbananmu membanting tulang sebagai pengganti Bapak mencari nafkah untuk membiayai hidup kami. Untuk perlindungan dan tempat yang nyaman di balik pelukanmu. Untuk setiap doa tulus yang engkau panjatkan untukku. Untuk cinta serta kasih sayangmu yang luar biasa terhadap kami--anak-anakmu.

Ma, aku ingat betul bagaimana engkau berusaha tegar ketika bapak memilih pergi demi wanita lain. Padahal wanita itu tidak lebih baik darimu, wanita itu jahat. Kau sakit kan Ma? Tapi, tidak sedikitpun kau membaginya dengan kami. Kau memilih menanggung beban itu sendiri. Kau bahkan tidak mencari pengganti lagi demi kepentingan kami. Kau bilang, cukuplah memiliki ibu tiri jahat, tidak akan kau memberikan kami bapak tiri jahat. Kau begitu takut kami akan tersakiti. Bagimu, tiada tempat yang lebih nyaman bagi kami selain bersamamu, dan memang itu sangat benar Ma. Berada di sampingmu adalah tempat paling aman dan tenang bagiku. Semua ketakutan dan kekhawatiran sirna ketika bersamamu.

Ma, aku juga ingat ketika kau bekerja banting tulang agar perut-perut kami tidak bernyanyi karena kelaparan. Agar tubuh kami tidak kurus seperti orang kekurangan gizi. Agar kebutuhan pakaian dan pendidikan kami terpenuhi. Kau selalu pergi pagi-pagi sekali dan baru pulang ketika gelap sudah menyelimuti bumi. Kau memang bukan wanita karir yang selalu memakai high heels dan berpakaian rapi, kau hanyalah seorang yang kerja serabutan. Kadang mengambil upah masak, cuci piring, dan cuci baju di rumah-rumah orang. Tapi, tidak usah khawatir Ma, kami bangga atas kerja kerasmu dan itu semua lebih dari cukup bagi kami.

Ma, aku pernah kesal terhadap Mama yang suka mengomel, marah-marah dan mencubitku. Aku mampir ke rumah teman, Mama mengomeliku. Aku bermain hingga petang hari, Mama memarahiku. Aku mandi hujan, Mama tega-teganya mencubitku. Aku masih kecil saat itu, kupikir Mama adalah orang yang jahat. Sekarang aku mengerti kenapa Mama begitu! Ternyata itu adalah wujud rasa khawatir serta perhatian Mama terhadapku.

Saat aku mulai remaja, aku kadang merasa tidak betah menghadapi Mama yang suka marah-marah. Bahkan, sempat terbesit keinginan untuk kabur dari rumah. Bodohnya aku yang menyia-nyiakan kesempatan bersamamu Ma. Sekarang, ketika aku jauh darimu, baru aku merasakan betapa pentingnya bisa selalu di dekatmu. Aku terkadang merasa iri terhadap teman yang setiap hari bisa mencicipi nikmatnya masakan mama mereka. Sedangkan aku, aku hanya bisa memakan mie instan dan nasi campur dengan bumbu ala kadarnya. Dan ketika aku sakit Ma, aku hanya bisa merasakan sakit itu di kamar tanpa ada yang perhatian. Sedangkan ketika bersamamu, kau akan selalu mencerewetiku untuk segera makan dan minum obat. Teh hangat selalu kau sediakan untukku. Dengan sigap kau memeriksa suhu tubuhku. Bukan hanya itu, untuk urusan selimutpun, kau mengambilkan dan memakaikannya untukku. Betapa perhatiannya dirimu Ma, benar-benar tidak ada yang dapat menggantikan perhatianmu.

Berbeda sekali ketika engkau sakit, tidak ada yang perhatian terhadapmu. Jangankan membawakan segelas teh hangat untukmu, menanyakan kau sudah minum obat atau belum saja kami lupa. Bukan hanya itu, mendoakanmu agar cepat sembuh saja kami seperti tidak punya waktu. Kami terlalu angkuh dan cuek. Kami juga sok sibuk. Padahal, ketika kami kecil, kau jauh lebih sibuk. Di tengah kesibukkanmu, kau masih sempat saja mendoakan kami. Ah, benar sekali pepatah ini “kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang masa”. Entah terbuat dari apa hati seorang Ibu, padahal kan sama-sama manusia dan makhluk ciptaan Tuhan. Tapi, kenapa begitu berbeda?

Ma, pernah kubuka album foto usang yang tersimpan di lemari kayu di kamarmu. Meskipun foto itu sudah buram, tapi tawamu ikhlas mengembang. Semenjak Bapak pergi tak pernah lagi kulihat tawa lepasmu. Apakah kau masih menyimpan sakit hatimu? Atau kau enggan tertawa karena kami--anak-anakmu--tak pernah memberikan kebahagiaan untukmu Ma?  Oh! Bagaimana bisa kau bahagia, sedangkan kami selalu berlaku kurang ajar. Kami suka membantahmu. Kami jarang mendengarkan omonganmu. Kami sering memperlakukanmu bak anak kecil, seperti kami yang mengeluarkanmu dari perut kami, bukan sebaliknya. Itulah istilah yang sering kau gunakan di sela-sela tangismu.

Sangat sakit hatimu Ma? Lapangkan hatimu Ma, kami memang tidak bisa membalas kebaikanmu, biarlah Tuhan yang akan membalasnya. Jika bagimu belum ada yang bisa memberikan kebahagiaan, yakinlah! Kebahagiaan menantimu di Surga.

Ma, ternyata aku bukan anak yang baik ya Ma? Aku durhaka. Tapi, tahukah Ma kalau aku sangat menyesal setelahnya? Aku ingin meminta maaf dan berlutut di kakimu sebenarnya, tapi aku terlalu jaim untuk itu Ma.

Ma, aku sekarang sedang menuntut ilmu. Kau tahu tidak, ini kulakukan untuk siapa? Untukmu Ma!!! Ini semua kulakukan untukmu, untuk bisa membahagiakanmu kelak. Kau ingin makan enak kan Ma? Ingin kasur empuk? Ingin pakaian dan perhiasaan mewah yang sering dipakai ibu-ibu arisan? Ingin rumah besar bertingkat? Ingin mobil? Mobil apa Ma? Ingin apa saja? Sekarang memang belum bisa kuberikan semua itu, maka dari itu, teruslah berdoa untukku Ma. Berdoalah agar anakmu ini bisa sukses dan membuatmu bangga. Hah? Apa Ma? Kau tidak ingin semua benda yang kusebutkan tadi? Lalu apa yang Mama mau? Ah, kenapa meminta bakti Ma? Itu hal yang sangat sulit.

Baiklah Ma, jika hanya bakti dan rasa hormatlah yang bisa membuatmu bahagia, maka izinkan aku mencobanya perlahan Ma.

Ma, sebelum aku mengakhiri curahan hati ini, izinkan aku meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah aku buat. Meskipun aku tahu setiap kesalahan yang kuperbuat telah kauberi maaf sebelum aku memintanya. Tapi, Ma, sekali lagi bukakan lah pintu maaf itu agar aku senantiasa dapat diridhoi dan tidak dimurkai Allah. Maaf yang sebesar-besarnya untuk tingkah laku serta sikapku yang biadab. Maaf yang sedalam-dalamnya untuk perkataanku yang kasar dan tidak berpendidikan. Maaf yang setinggi-tingginya untuk prasangka buruk terhadapmu. Maaf yang seluas-luasnya untuk waktumu yang tersita demi membesarkan bocah-bocah tak tahu diri seperti kami. Maaf pula yang setulus-tulusnya untuk keegoisan, kekhilafan, kecerobohan, serta kenaifanku.

Lagi, terima kasih untukmu Mama. Kami memang terlihat kuat sekarang, tapi kekuatan itu ada karena kekuatanmu. Tetaplah tegar dan kokoh demi anak-anakmu yang butuh bimbingan ini. Semoga Allah senantiasa menjagamu. Aamiin.

NB:Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul: Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu

dan Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun