Mohon tunggu...
Ikayanti Ikl
Ikayanti Ikl Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa Universitas Mulawarman

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Peri Hujan

20 Oktober 2013   23:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:15 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

213-Ikayanti Ikl

Namanya Kamila. Dia adalah tetangga sekaligus teman sepermainan juga sahabat terdekatku. Dia adalah anak yang manis, lincah, juga pandai. Tetapi, ada satu hal yang membuatku merasa sedikit sungkan bersahabat dengannya. Dia anak yang aneh dan berimajinasi tinggi. Setiap hujan datang dia akan bermain-main hingga hujan itu reda, dan dia juga akan menari-nari serta bebicara sendiri di saat hujan. Katanya dia bertemu peri di saat hujan turun. Dia sering mengajakku bermain hujan dan untuk bertemu peri itu. Namun, aku tidak mau karena hujan bisa membuat orang sakit.

***

“Nadia, ayo kita main hujan!” teriak Kamila padaku suatu hari.

Sudah sering kali dia mengajakku untuk bermain hujan, tentu saja sudah sering kali pula aku menolaknya.

“Tidak, nanti sakit.”

“Ada Ibu Peri yang akan menyelamatkan kita dari sakit!”

Nadia pasti mulai berkhayal lagi. Ibu Peri kan cuma ada di buku-buku dan film. Lagipula mana ada Ibu Peri yang datangnya cuma di saat hujan.

“Ibu Peri kan cuma ada di dongeng,” selaku.

“Ih kamu ndak percaya ya, makanya ayo ikut aku bermain hujan. Nanti Ibu Peri akan datang!”

Aku menggeleng-gelengkan kepala tidak mau juga sebagai penolakan terhadap khayalan yang tinggi.

“Tidak, nanti kotor! Aku tidak mau dimarahi Ibu. Memangnya kamu tidak dimarahi jika nanti pulang kotor?”

“Tidak, aku kan tidak punya Ibu.” Jawabannya membuatku menjadi tidak enak.

“Tapi kan ada  kakak-kakak dan Ayahmu yang nanti khawatir kalau kamu pulang kebasahan dan kotor!”

“Tidak, mereka tidak peduli terhadapku, mereka sibuk!”

Aku jadi terdiam. Benarkah di rumah Kamila tidak ada yang peduli terhadapnya? Jika benar, kasihan sekali Kamila. Ini pasti karena dia sudah tidak punya Ibu, makanya dia suka bermain hujan sesuka hatinya. Biasanya kan Ibu yang paling suka memarahi dan memerhatikan anaknya.

“Aku lihat kamu saja ya,” kataku akhirnya.

“Baiklah, kamu pasti menyesal.”

Kamila membuka kaus kakinya. Tanpa memedulikan seragam sekolahnya yang belum diganti, dia berlari-lari ke luar teras rumahku menantang hujan. Dalam sekejap saja dia sudah basah kuyup. Aku memutuskan untuk merapikan bekas pensil warna dan buku gambar kami yang baru saja kami gunakan untuk mengerjakan tugas. Untung saja hujan turun setelah kami selesai mengerjakan tugas, jadi Kamila tidak perlu meninggalkan dan melupakan tugasnya demi bermain hujan. Aku yakin, jika hujan datang sebelum kami selesai mengerjakan tugas, pasti dia akan memilih bermain hujan daripada menyelesaikan tugas kami.

Katanya, hujan tidak datang tiap hari dan hanya sebentar saja, sedangkan mengerjakan PR dapat dilakukan hingga malam hari, bahkan besok paginya lagi. Aku dan ibu suka mengingatkan untuk tidak bermain hujan kepadanya, namun dia tidak mau mendengarkan. Dia memang sedikit keras kepala jika berkaitan dengan hujan. Hujan baginya adalah kesenangan yang luar biasa. Aneh bukan?

“Kesempatanku untuk bertemu Ibu Peri cuma di saat hujan, jadi aku tidak akan melewatkan kesempatan ini.” Bisiknya padaku suatu kali.

Kuceritakan mengenai Peri Hujan itu kepada Ibu. Ibu hanya tersenyum dan berkata, ”Kamila tidak memiliki Ibu. Mungkin Dia begitu merindukan ibunya sehingga Dia menciptakan sendiri sosok Ibu itu yang akan ditemuinya di saat hujan.”

“Tapi kenapa harus disaat hujan Bu?” tanyaku tidak mengerti.

“Entahlah. Mungkin karena disaat hujan dia merasa bebas dari orang-orang.”

Aku manggu-manggut sedikit paham. Benar juga, dia memiliki waktu sendiri hanya di saat dia bermain hujan, karena tidak ada orang lain yang mau menemaninya bermain hujan. Eh, tapi bukankah di saat bermimpi juga kita sendirian?

“Lho, tapi kan saat bermimpi kita juga sendirian Bu! Kenapa tidak di saat tidur saja Kamila meminta Ibu Perinya datang? Bukankah dengan bermimpi akan lebih seru?” aku bertanya penuh penasaran.

“Bermimpi memang sendirian Sayang, akan tetapi mimpi itu tidak bisa kita ciptakan karena berada di alam bawah sadar kita. Mimpi datang dengan sendirinya, berbeda dengan khayalan. Nah, yang bisa dilakukan Kamila untuk bertemu Ibu Peri hanya dengan berkhayal.”

“Oh, jadi begitu ya Bu!”

“Tapi Kamila hebat ya Bu, meskipun sering bermain hujan Dia tidak pernah sakit.”

“Mungkin fisiknya yang kuat Sayang.”

“Bukan karena kekuatan Ibu Peri ya Bu?”

“Hahahaha. Kamu juga mulai berkhayal sayang ya?” Ibu malah menertawakan pertanyaanku. Hmm, iya benar juga, pasti karena sering bermain bersama Kamila, aku jadi ikutan-ikutan berkhayal.

***

Kamila masih bermain-main dengan hujan, sesekali dia memanggil-manggilku yang kini sedang memerhatikannya. Aku hanya melambaikan tangan sambil tersenyum menanggapinya.

Dia sama sekali tidak tampak kedinginan. Dia kadang tertawa-tawa sendiri. Kadang berbicara, berteriak, bahkan menari-nari. Kamila bersama hujan, seperti memiliki dunia sendiri. Ah, aku juga ingin punya dunia khayalan seperti Kamila. Sepertinya sangat menyenangkan, semua diciptakan sendiri. Kamila, seperti apa Ibu Perimu? Baik dan cantik seperti di dongengkah? Tapi memiliki dunia sendiri, butuh kesendirian. Ah tidak jadi, aku kan punya ibu, keluarga dan teman-teman.

Hujan kemudian berhenti, Kamila melambaikan tangannya tanda seseorang akan pergi.

***

Setahun kemudian, Kamila pergi. Dia sakit demam berdarah. Aku jadi kehilangan sahabat.

Sudah hampir sebulan aku tidak bertemu Dia. Tiba-tiba petir menyambar. Langit di luar juga sedang mendung, pertanda akan hujan. Jika sudah mau hujan begini, aku jadi teringat akan sosok Kamila. Aku jadi kesepian. Aku tidak memiliki sahabat yang lincah dan suka berkhayal lagi. Tidak ada lagi ocehan-ocehan tentang Peri hujan. Tidak ada lagi panggilan-panggilan dan tawa di saat hujan. Tidak ada semuanya.

Hujan kemudian turun dengan deras, aku memerhatikan dari balik jendela kamar. Aku jadi ingin mandi hujan. Aku jadi ingin membuktikan perkataan Kamila tentang Peri Hujan, benarkah ada?

Aku beranjak dari kamar menuju teras rumah. Ibu sedang tidak ada di rumah. Sekarang juga sedang liburan kenaikan kelas, jadi tidak apa-apa jika aku sakit karena hujan untuk beberapa hari. Lagipula aku sama sekali belum pernah mandi hujan.

Tik, tik, tik. Aku sedang menikmati tetesan-tetesan hujan. Aku sudah basah kuyup, dan mataku sedikit perih karena air hujan. Aku mencari-cari keberadaan Ibu Peri yang dibilang Kamila ke segala arah. Namun, tidak ada. Apakah pakai mantra?

“Abracadabra, simsalabim.”

Tidak muncul apa-apa.

“Ibu Peri, Ibu Peri.” Aku mencoba memanggil-manggil, namun juga tidak ada.

“Kamila, kamu berbohong ya? Ini cuma khayalan kamu kan?”

“Aku kesepian tidak ada kamu Kamila. Aku ingin berteman dengan Ibu Peri.”

Semua sia-sia saja. Ibu Peri yang dibilang Kamila tidak muncul juga, padahal aku sudah coba percaya. Aku putuskan untuk kembali ke dalam rumah. Namun, tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku dari belakang, dan memanggil namaku pelan.

“Nadia,”

Aku menoleh dan mendapati Kamila sedang tersenyum kepadaku. Di sebelahnya ada seorang wanita berkulit putih pucat cantik dengan memakai baju berwarna putih. Kamila juga memakai baju berwarna putih.

“Kamila,” aku memeluknya dan menangis. Aku rindu Kamila.

“Ini Ibu Peri yang kuceritakan padamu Nadia, sekarang Dia jadi Ibuku.”

“Benarkah? Jadi kita bisa bertemu setiap hujan?”

“Tidak Nadia, dunia kita berbeda. Iya kan Ibu Peri.”

Aku jadi bingung dengan Kamila, apanya yang berbeda. Bukankah Dia selalu bisa bertemu Ibu Peri di saat hujan? Berarti aku juga bisa!

“Kenapa berbeda?” tanyaku.

“Aku dan Ibu Peri sekarang tinggal di langit Nadia, sedangkan kamu di bumi.”

“Yasudah, kalau hujan kamu turun aja ke bumi bersama Ibu Peri.”

“Tidak bisa sayang, Ibu Peri hanya akan menemani anak-anak yang kesepian dan akan segera pulang ke langit. Hidup Nadia masih panjang dan Nadia akan selalu ditemani orang-orang yang menyayangi. Nadia punya semuanya, ayah, ibu, saudara, dan teman-teman.”

“Oh, begitu!” aku coba mengerti.

“Sebentar lagi hujan reda Nadia, kami akan pulang.”

“Bagaimana jika aku ingin bertemu denganmu lagi Kamila?”

“Jika kamu sudah tinggal di langit Nadia.” Jawab Kamila.

Aku masih ingin berbicara ketika hujan sudah mulai berhenti. Kamila dan Ibu Peri segera melambaikan tangan. Aku membalas lambaian mereka. Bersamaan dengan rintik hujan terakhir, merekapun hilang.

Jadi, aku harus menjalani hidupku yang sudah penuh dengan orang-orang yang menyayangi aku. Aku tidak perlu hidup di dunia khayal seperti Kamila, karena dunia Kamila kesepian, sedangkan aku tidak.

Oke, sampai bertemu kembali di langit jika waktuku tiba Kamila.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun http://www.kompasiana.com/androgini dengan judul :http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/10/18/ffa-inilah-perhelatan-dan-hasil-karya-peserta-festival-fiksi-anak-di-kompasiana-599896.html

Silahkan bergabung di FB . http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun