Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Lainnya - Communicating Life

pelayan masyarakat selama lebih dari 20 tahun and keep counting, belajar ilmu komunikasi sejak lahir.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Undang-undang Keterbukaan Informasi dan "Penumpang Gelap"nya

21 Juni 2024   11:23 Diperbarui: 21 Juni 2024   11:31 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Saya langsung cari tahu tentang undang-undang itu, Bu..apa benar kita memang harus setelanjang itu kasih informasi", ujarnya agak kalut. "Perkara pertanggungjawaban BOS (Biaya Operasional Sekolah_red), dan lain-lain kan sudah lengkap kita sampaikan ke inspektorat, ke BPK, bahkan itu semua dilakukan secara terperinci dengan mengupload semua bukti pada aplikasi Kemendikbud", lanjutnya. "Jadi kita kaget, kok ini LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat_red) malah pengen meriksa juga. Alasannya karena berdasarkan undang-undang keterbukaan informasi, LSM berhak mengetahuinya", paparnya dengan suara bergetar.

"Kemarin datang LSMnya, mereka bilang jika permohonan informasi tersebut tidak dipenuhi, mereka akan menyengketakannya ke Komisi Informasi, nanti kami disidang, harus menghadirkan saksi-saksi dari polda, kejati. Dan jika kami kalah dalam persidangan, kami harus mengganti kerugian material maupun imateril antara lain sebagai ganti transport mereka dan seluruhnya bisa mencapai 20 juta", Ibu kepala sekolah lancar bercerita ditingkahi anggukan 3 (tiga) orang wakil kepala sekolah yang mendampinginya saat datang ke kantor PPID Utama.

"Kami terlanjur kaget, maka saya langsung menelepon teman kepala sekolah lain, kata dia, kasih aja 1,5 juta", tuturnya melanjutkan. "Ibu kasih?, dari mana uangnya", saya tak tahan untuk bertanya. "ya dikasih Bu, tadinya mereka ga mau dikasih segitu,  mintanya 2,5 juta. Saya sampe kasih liat isi dompet saya yang kosong", si ibu getir.

"Saya pikir setelah dikasih uang, urusan selesai. Ternyata kemarin pagi mereka datang lagi sambil kasih liat ini", Ibu kepala sekolah memperlihatkan layar gadgetnya. Tampak di sana foto selembar kertas berjudul 'Akta Register Permohonan Sengketa Informasi Publik' yang dikeluarkan oleh sekretariat Komisi Informasi. Isinya semacam tanda terima bahwa LSM tersebut telah mendaftarkan penyelesaian sengketa informasinya ke Komisi Informasi.  

Ceritanya tidak berhenti hingga di situ, dan yang pasti, praktik-praktik seperti itu marak di satuan pendidikan. Semua ini seolah perpaduan antara minimnya informasi tentang UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan seluruh turunannya, ketakutan berlebihan dari pihak sekolah karena mungkin memang telah terjadi mal administrasi baik ringan maupun berat, serta malasnya pihak sekolah meladeni serbuan oknum LSM sehingga memilih jalan pintas dengan cara memberikan sejumlah materi.

Saya mengamati, setelah semua 'gerakan' yang dilancarkan LSM hingga memohon penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi, lalu secara berangsur-angsur status register mereka tampak berubah dari 'teregistrasi' menjadi 'cabut'. Alasan pencabutan seragam: "informasi yang dimohonkan telah diberikan".

Aneh sebetulnya, karena seperti yang diatur oleh Peraturan Komisi Informasi No 1/2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik, untuk mendaftarkan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik, pemohon harus terlebih dahulu mengajukan surat keberatan yang ditujukan ke Atasan PPID yang pada beberapa badan publik biasanya dijabat oleh sekretaris daerah. Jadi, bagaimana mungkin pemohon informasi bisa mendapatkan informasi yang diminta padahal surat keberatannya pun kadang belum sempat diterima oleh atasan PPID karena biasanya diserahkan langsung ke sekolah yang dimintai informasi.  Minimnya informasi menyebabkan pihak sekolah tidak meneruskan surat keberatan tersebut ke atasan PPID sehingga mengendap dan berujung pada sengketa informasi. Maka kemungkinan terbesar adalah terjadi lagi 'bargaining' pada tahap ini.

"Bu, langkah-langkah yang kemarin kita sepakati untuk dilakukan tampaknya tidak jadi dilaksanakan. Ketua MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah_red) sudah 'selesaikan' dengan pihak LSM-nya", ujar seorang bapak kepala sekolah salah satu SMA negeri di ujung telepon. Saya yang sudah terbiasa dengan telepon macam begitu tetap bertanya sambil mengulum senyum "Diselesaikan dengan cara bagaimana Pak?". "Wallahualam Bu", jawab pak kepala sekolah lirih.

Ingatan saya kembali ke beberapa hari sebelumnya saat sang bapak kepala sekolah dengan semangat setuju dengan upaya kami menghadapi oknum LSM dengan gagah berani hanya sesuai prosedur. "Kita punya tim hukum yang andal Pak, jangan takut, mari kita hadapi ini bersama. Kami butuh sekolah yang berani menghentikan praktik-praktik tidak sesuai prosedur ini, karena percuma rasanya jika hanya kami yang melakukan ini sendiri", ujar saya saat itu. Sebagai yang mengurusi PPID Utama dan sebagai yang merasa concern atas hak masyarakat untuk mendapatkan informasi publik, maka saya merasa berkepentingan untuk mengembalikan marwah UU 14/2008 ini ke khittahnya.

 "Untuk menjadi berani sebenarnya mudah Pak. Pastikan sekolah bapak on the track sejak perencanaan hingga pelaporan", tegas saya sampaikan. "Jika itu dilakukan maka tak ada yang perlu sekolah takutkan", ungkap saya, yang juga kerap  saya sampaikan dalam berbagai kesempatan bertemu dengan banyak pihak sekolah.

"Udah beres tapi Bu. Ketua MKKS yang langsung selesaikan"...sang bapak kepala sekolah berkeras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun