Mohon tunggu...
Diah Kartika
Diah Kartika Mohon Tunggu... -

Seorang apoteker. Mom of three. Senang berorganisasi utamanya dalam bidang pendidikan dan religi. #Bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Talang Rezeki untuk Anak

16 Juli 2016   06:55 Diperbarui: 16 Juli 2016   07:52 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Refleksi saya sehabis lebaran. Abis ketemu banyak orang. Lalu mengamati kondisi sekitar. Hanya opini pribadi. Mungkin ada benarnya atau bisa banyak salahnya. Just read it. Kasih tanggapan dan masukan yaaa…

Temanya adalah tentang rezeki anak. Setiap anak ada rezekinya masing-masing. Adapun hak setiap anak mendapatkan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan dari orang tuanya. Terutama tanggung jawab dari ayahnya, dimana namanya akan disandingkan bin maupun binti sampai di akhirat.

Berapapun jumlah anak yang dititipkan kepada seseorang pasti akan selalu dicukupkan rezekinya. Adapun kategori anak di sini bisa anak kandung, anak yang masih ada hubungan nasab misal dari golongan saudara atau kerabat, atau anak yatim dan dhuafa yang tidak ada hubungan nasab sama sekali. Siapapun yang mau memikul tanggung jawab itu dengan ikhlash, menjadi talang rezeki untuk anaknya, maka nikmat rezekinya akan disalurkan lewat dia. Sebagai talang rezeki yang bersedia menampung dan mengalirkan, dia akan kebagian juga basahnya rezekiNya.

Janji Yang Maha Kuasa, Dia selalu memberi kecukupan rizki untuk hidup. Tapi bisa jadi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi gaya hidup. Prinsip rezeki anak adalah, sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, tidak akan tertukar, dan kerap kali datang dari arah yang tak terduga.

Ada kondisi dimana seorang anak tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dari penanggung jawab nafkah utamanya, karena ketidakmampuan atau ketidakmauan bahkan bisa jadi gabungan keduanya. Maka kecukupan kebutuhan dasarnya akan datang dari orang terpilih yang mau dipilihNya sebagai talang rezeki.  Orang itu bisa datang dari golongan kerabat seperti ibunya, kakek nenek, atau saudaranya. Bisa juga dari orang yang tak ada hubungan nasab sama sekali.

Nah masalah ketidakmampuan atau ketidakmauan ini memang kadangkala berkaitan erat. Kondisi pertama, karena ketidakmauan seseorang menjadi penanggung jawab kebutuhan dasar anaknya lalu dijadikanNya ia tidak mampu. Kondisi kedua, ketika seseorang merasa tidak mampu menjadi penanggung jawab kebutuhan dasar anak lalu ia menjadi tidak mau. Bingung apa bingung dengan statement saya? Yang nulis aja rada keder inih.. :D

Penjelasan dua kondisi di atas seperti ini. Pada kondisi pertama, karena ketidakmauan menjadi ketidakmampuan. Dengan kapasitas kondisi fisik yang sehat, akal pikiran yang cerdas, tapi jiwanya tidak mau untuk menjadi penanggung rizki anaknya. Secara pelan namun pasti ia akan dijadikan ke dalam kondisi tidak mampu. Hartanya akan hilang dengan berbagai cara. Misalnya bisnis selalu gagal, ditipu orang, kecopetan, sakit, terlilit hutang yang tak mampu dibayar, ditilang polisi, barang yang dimiliki sering rusak, karirnya mandek, dicopot dari jabatan, anaknya kena masalah yang harus mengeluarkan uang atau kehilangan hartanya dan berbagai macam hal buruk lainnya. Naudzubillahi min dzalik ngeriii banget ya. (*Yang nulis sampai merinding sendiri. Mudah-mudahan dijauhkan dari kondisi seperti itu. Aamiin). Sehingga dari ketidakmauan padahal mampu, ia terpuruk ke dalam zona ketidakmampuan.

Pada kondisi kedua, ketidakmampuan menjadi ketidakmauan. Karena merasa tidak mampu, sehingga keinginannya memenuhi seluruh kebutuhan dasar anaknya menjadikan ia tidak mau. Misalnya ketidakmampuan karena sakit yang menghalanginya untuk bisa mencari nafkah sehingga tidak mau menjadi penafkah utama. Contoh lain karena merasa tidak mampu punya banyak anak maka jadi tidak mau nambah anak lagi. Bisa juga karena untuk mencukupi kebutuhan anak kandungnya saja dia sudah tidak mampu maka dia tidak mau menafkahi anak sodara, yatim dhuafa di luar lingkaran utamanya.

Cukup jelas ya dua kondisi di atas. Saya berdoa, semoga saya dan sobat pembaca disini tidak termasuk ke dalam kedua kondisi di atas. Mudah-mudahan kita termasuk orang terpilih yang dipilihNya untuk menjadi talang rezeki buat anak-anak. Jika saat ini rezeki kita sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar anak-anak di lingkar utama, semoga kita tergerak tengok kanan kiri sekitar menyantuni anak-anak lain yang membutuhkan. Semoga anak tersebut menjadi amal jariah kita yang pahalanya mengalir terus sepeninggal kita, menjadi anak yang sholeh dan jika kita mau menanggung biaya pendidikan semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

Sekian coretan dari saya. Pengennya ikutan one day one post, tapi gak yakin lihat aja komitmen dan konsitensi saya dalam menuli, haha. One week one post dulu aja udah bagus rasanya :) * ceritanya lagi pengen konsisten nyalurin hobi nulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun