Di suatu malam beberapa bulan yang lalu Azkiya anak sulung saya yang berusia 8 tahun melontarkan pertanyaan kepada saya mengenai kekayaan. Kami bincang malam sebelum tidur. Di atas kasur busa yang sudah agak kempes kami berbaring bersama sambil asyik ngobrol di kamar Azkiya.
“Bu, apakah kita ini termasuk orang kaya apa bukan sih?” tanyanya
“Menurut Azkiya?” saya bertanya balik
“Mmm..gak terlalu kaya kayaknya sih?” jawabnya gak terlalu yakin, pakai ‘sih’
“ Kenapa Azkiya berpikir demikian “ tanya saya ingin mengeksplore lebih dalam
“ Kemarin Azkiya ngobrol sama teman-teman dan isi pembicaraannya adalah tentang siapa yang orang kaya di anatara kita berempat. Menurut Azkiya, Nayla itu kaya karena rumahnya tingkat. Hanan juga kaya, walaupun rumahnya tidak tingkat, tapi dapurnya bagus dan punya mobil. Kak Tiara lebih kaya lagi karena punya mobil dan yang paling keren dia punya HP layar sentuh, itu kan mahal ya bu, hanya orang kaya yang bisa beliin untuk anaknya” cerocos Azkiya menceritakan obrolan dengan teman karibnya, yang selalu bareng jalan kaki pulang sekolah karena tinggal di komplek yang sama.
“Tapi kata temenku azkiya juga kaya, walaupun tidak punya mobil, tapi rumahnya luas. Kan punya rumah luas itu dibeli dengan uang yang cukup banyak” lanjut Azkiya lagi
“ Kalau menurut azkiya bagaimana dengan si X (aku menyebutkan nama seseorang yang kami kenal), dia punya rumah yang besar, tingkat, punya dua mobil, tapi dia sekolah negeri yang gratis. Apakah menurut Azkiya si X itu orang kaya?” Tanya saya
“ Iya dong bu, dia mah kaya banget!” cetus azkiya semangat
“ Begini Azkiya, kaya itu bukan masalah seberapa besar dan bagusnya rumah kita, atau sebanyak apa mobil kita. Karena setiap orang memiliki cara sendiri untuk mempergunakan uang mereka. Ayah dan ibu lebih senang mempergunakan uang untuk biaya pendidikan. Makanya Azkiya, Afkar, Hisyam ibu sekolahkan di Sekolah Alam yang tidak murah harganya. Jika ibu mau menyekolahkan Azkiya ke SD negeri yang gratis, mungkin ibu bisa menyimpan uang tersebut untuk membeli mobil yang bagus atau membangun rumah tingkat dua. Tapi ibu tidak ingin itu. Ibu memilih sekolah yang terbaik sesuai kebutuhan anak-anak. Mungkin buat sebagian orang sangat cocok menyekolahkan anaknya di SD negeri yang gratis.Dan anak-anak mereka berkembang baik. Tapi ibu menilai karakter anak-anak ibu lebih bisa berkembang baik di Sekolah Alam. Sebenarnya ada juga sih sekolah lain yang lebih bagus lagi, tapi harganya terlalu tinggi untuk ibu gapai. Begitu Azkiya!” Jelas saya. Azkiya mengangguk-angguk.
“ Jadi kita tidak bisa serta merta menilai orang itu kaya atau tidak dengan penampilannya yang sangat mewah, bisa jadi dia hutang sana-sini untuk memenuhi standar hidupnya. Atau ada orang yang kelihatannya sederhana tapi dia banyak amal sana sini, bisa jadi dia banyak sekali uangnya. Jadi kaya itu hanya masalah cara orang mempergunakan uangnya. Ada yang untuk menghabiskan uangnya untuk membangun rumah yang mewah, ada yang untuk pendidikan, ada juga yang untuk membantu sesama “ Tambah saya panjang lebar, yang nampaknya dimengerti oleh Azkiya.
“ Bu, aku ingin jadi orang kaya dan terkenal. Bagaimana caranya” kata Azkiya.
“ Kenapa Azkiya pengen kaya?” yang ditanya malah balik bertanya.
“ Enak bu banyak uang, bisa membeli apa saja. Pengen ini tinggal beli. Mau itu tinggal beli. Asyik deh pokoknya” jawabnya dengan mata yang berbinar-binar.
“Kalau terkenal itu seperti apa. Kenapa Azkiya mau jadi orang terkenal?” Tanya saya.
“ Terkenal itu seperti artis. Masuk tivi, majalah. Kalau jadi orang terkenal pasti banyak duitnya bu “ katanya.
“ Oh jadi Azkiya pengen jadi artis, Jiee mau jadi artis nih yee” ledek saya
“ Ah nggak juga sih bu. Azkiya kan orangnya pemalu” tukas Azkiya sambil tersipu malu.
“ Ibu lebih bangga kalau Azkiya bisa jadi terkenal karena ilmunya. Kalau kak Azkiya mau jadi kaya buatlah karya. Orang bisa kaya karena membuat karya” Jelas saya.
Tak terasa itu sepenggal obrolan saya beberapa bulan yang lalu. Hari ini saya memasukkan uang, hasil kemenangan Azkiya menjuarai lomba kreasi barang bekas, ke tabungan Azkiya. Dia mendapatkan piala camat dan sejumlah uang tunai. Dalam tiga bulan ini ternyata ia berhasil menambah saldo tabungannya dari karya yang ia hasilkan. Sejak Bulan Februari sudah tiga kali tulisannya dimuat di Kompas Anak. Berarti ditambah hasil lomba kemarin tabungannya semakin gemuk. Sudah 4 karya Azkiya menghasilkan uang yang senilai uang sakunya selama setahun. Ini bukti nyata dari obrolan saya dengan Azkiya beberapa bulan silam. Jika ingin kaya harus punya karya.
Setelah saya amati karyanya yang menghasilkan uang itu justru bukanlah sesuatu yang dibuat karena diniatkan untuk mendapatkan uang. Beberapa tulisan yang memang dimuat di Kompas Anak justru merupakan serakan tulisannya di buku daily writing ataupuntugas dari Pembina eskul penulis cilik (Pencil) di sekolahnya, yang diketik ulang dan dikirimkan ke redaksi. Namun beberapa tulisannya yang sengaja dia tulis untuk dikirim dan diniatkan mendapatkan uang malah tidak dimuat.
Kemarin ketika Azkiya mengikuti lomba, Awalnya dia sangat tertarik mengikuti karena iming-iming hadiah uang tunai. Namun sehari menjelang hari H, bahkan beberapa jam sebelum lomba, Azkiya sempat galau dan menyatakan tidak jadi ikut lomba saja, karena merasa karya yang dia buat jelek, mana mungkin bisa menang dan dapat hadiah uang tunai.
“Bu, azkiya gak usah ikut lomba ya, karya cuman kaya begini doang mana mungkin bisa menang. Buatan Azkiya jelek bu!” Kata Azkiya dengan nada suara galau sambil menunjukkan karya setengah jadi yang akan diikutkan lomba kreasi barang bekas yang diikuti Azkiya.
Azkiya punya rencana membuat keranjang tempat menaruh pinsil dan ATK lainnya. Dibuat dari anyaman kertas HVS bekas. Karya tersebut akan diselesaikan pada hari H lomba. Dia juga sudah menyiapkan pewarna, asesoris biji saga, kulit kacang arab, dan ornament lainnya yang akan dijadikan penghiasnya. Pagi harinya sebelum berangkat lomba saya memberi wejangan pada saat sarapan pagi.
“Ibu tidak peduli Azkiya menang atau tidak. Kalau Azkiya menang ibu senang, kalau Azkiya kalah ibu juga senang. Yang penting Azkiya sudah berusaha semaksimal mungkin. Okey! yang penting usahanya semaksimal mungkin ya. Azkiya boleh mengecat dengan warna yang Azkiya sukai. Lalu hiaslah dengan hiasan yang menurut Azkiya keren. Menang atau kalah itu urusan belakangan yang penting Azkiya happy mengerjakannya ya!”
Pada saat lomba berlangsung Azkiya menjadi anak yang selesai paling belakangan. Saya melihat dia duduk di pojok arena mengecat dengan seksama. Lalu menghias dengan biji saga yang sering ia kumpulkan ketika pulang sekolah. Ada juga hiasan dari kulit kacang Arab yang ternyata ia kumpulkan ketika kami mendapat oleh-oleh umroh dari tetangga. Dia menjadi peserta terakhir yang mengumpulkan karyanya ke hadapan dewan juri. Dia menikmati proses demi proses menyelesaikan karyanya. Sepertinya dia mengerjakan bukan karena dilandasi keinginan menggebu untuk memenangkan lomba. Ketika Azkiya sudah merasa tidak terbebani dengan uang sebagai hadiah justru dia mendapat juara pertama dan mendapat hadiah uang tunai yang jumlahnya cukup banyak.
Saya jadi dapat ide untuk ngobrol lagi dengan Azkiyayang intinya, Do what you love and the money will follow you.
#Yuk ngobrol lagi anakku
[caption id="attachment_304152" align="aligncenter" width="300" caption="Azkiya dengan karyanya dan Piala Camat Sawangan. Tempat pinsil dari bahan dasar anyaman kertas HVS bekas ini berhasil meraih juara 1 dan uang tunai 500 ribu rupiah."][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H