Mohon tunggu...
Politik

Benahi Tata Kelola Pelabuhan di Indonesia

27 Agustus 2015   11:13 Diperbarui: 27 Agustus 2015   11:13 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Permasalahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara menjadi bahan sorotan selama beberapa pekan belakangan ini, setelah Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke pelabuhan itu dan menemukan ketidakberesan, terutama pada proses dwelling time. Ironisnya, ketika Presiden Jokowi berusaha memeroleh jawaban terkait proses dwelling time; tidak ada satupun pejabat yang memberikan jawaban memuaskan.

Kekecewaan Presiden tersebut sekaligus merupakan cerminan para pengguna jasa pelabuhan di  Pelabuhan Tanjung Priok. Sehingga muncul pertanyaan bagaimana Indonesia mampu bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan kelas dunia; jika pelayanan di pelabuhan seperti di Pelabuhan Tanjung Priok masih banyak dikeluhkan banyak pihak? Apalagi kemudian terkuak adanya penyimpangan-penyimpangan dan pungutan liar yang terindikasi adanya praktik korupsi.

Untuk menjaring masalah tentang proses dwelling time khususnya di Pelabuhan Tanjung Priok, Institut Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (IK2MI) menyelenggarakan round table discussion dengan topik “Membenahi Tata Kelola Pelabuhan dengan Menurunkan Dwelling Time”, hari Rabu, tanggal 19 Agustus 2015 di Ruang Monas 1 Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat.

Sebanyak 40 orang mengikuti diskusi yang menghadirkan pembicara Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Bay M Hasani dan Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia/Indonesian Logistics and Forwarders Association (ALFI/IFLA) Yukki Nugrahawan Hanafi.

Ketika membuka diskusi tersebut, Ketua IK2MI Laksamana Madya TNI (Purn) Y Didik Heru Purnomo mengatakan bahwa masalah proses dwelling time di Indonesia sudah terjadi sejak lama. Untuk itu IK2MI mengundang berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintahan, pihak swasta, pengguna jasa pelabuhan, dan pengusaha; untuk duduk bersama untuk membahas masalah dwelling time. Tujuannya bukan untuk saling salah menyalahkan, tapi mencari solusi terbaik agar seluruh pelabuhan di Indonesia mampu memberikan pelayanan terbaik untuk konsumennya, sehingga  pelabuhan di Indonesia mampu bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan dunia.

Menurut Didik, pelabuhan di Indonesia merupakan pembuluh darah untuk menuju cita-cita Indonesia sebagai negara maritim dan menuju Poros Maritim Dunia seperti yang digagas Presiden Jokowi. Potensi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim sebenarnya sudah ada, apalagi nenek moyang Bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa mereka adalah para pelaut ulung kelas dunia. Pada masa itu, para pelaut Indonesia telah mampu mengarungi luas dan ganasnya samudera hingga ke Madagaskar.

Permasalahan

Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Bay M Hasani memaparkan tentang dwelling time yang terdiri dari:

  1. Dwelling time (operasional kepelabuhanan): “Waktu yang ditempuh oleh countainer/barang untuk melalui proses kepelabuhanan mulai dari proses discharge/bongkar sampai dengan keluar terminal pelabuhan (lini I)”. Dwelling time saat ini 4,86 hari. Dwelling time (clearance document): “Waktu berapa lama petikemas (barang impor) ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di pelabuhan sejak dibongkar dari kapal sampai dengan barang impor keluar dari TPS”.
  2. Dwelling time terbagi menjadi tiga, yaitu pre-customs clearance, customs clearance, dan post-customs clearance. Penyumbang terbesar adalah pre-customs clearance yaitu sekitar 60-70 % dari total total dwelling time. Faktor penentu pre-customs clearance antara lain: a. Banyaknya jumlah larangan dan/atau pembatasan (Lartas). b. Kecepatan instansi pemerintah di luar pelabuhan dalam penerbitan izin Lartas. c. Proses penelitian Lartas melalui sistem INSW (Indonesia National Single Windows) Kesadaran importir untuk segera mengajukan/submit dokumen PIB. Dwelling time saat ini 5,19 hari.
  3. Ketua Umum DPP ALFI/ILFA Yukki Nugrahawan Hanafi mengungkapkan meski telah ada UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dan PP No 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhan, namun pada kenyataannya monopoli pengelolaan pelabuhan komersial belum berakhir. Artinya, tidak ada kompetitor PT Pelabuhan Indonesia (I, II, III, dan IV).Keberadaan Otoritas Pelabuhan (OP) sebagai regulator tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena OP memiliki eselon yang lebih rendah dari syahbandar dan instansi pemerintah terkait di pelabuhan, termasuk Direksi PT Pelabuhan Indonesia.Operator Pelabuhan (PT Pelabuhan Indonesia) cenderung mengembangkan multi sektor (tidak fokus pada bisnis utamanya bongkar muat), tetapi merambah ke bisnis properti, pergudangan, angkutan layanan teknologi informasi, dan lain-lain.

Di Indonesia sistem pelabuhan disusun seperti hirarki yang terdiri dari 1.700 pelabuhan. Terdapat 111 pelabuhan komersial yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia I, II, III, dan IV. Selain itu terdapat 614 pelabuhan sebagai UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang bersifat non-komersial dan tidak menguntungkan serta nilai strategisnya rendah.

Terdapat pula sekitar 1.000 pelabuhan khusus atau pelabuhan swasta yang hanya bisa untuk keperluan perusahaan itu sendiri seperti di sektor pertambangan, minyak dan gas, perikanan, dan kehutanan, dan lain-lain.

Dari hasil survei ALFI/ILFA sebanyak 537 pelabuhan khusus di Indonesia saat ini menganggur akibat krisis ekonomi global yang juga menimpa Indonesia.

Komparasi dwelling time pelabuhan negara yaitu pelabuhan Singapura (1,5 hari), Hongkong (2,0 hari), Perancis dan Australia (3,0 hari), Los Angeles, Malaysia, dan India (4,0 hari), Thailand (5,0 hari), dan Indonesia (5,7 hari).

Penyebab dwelling time pelabuhan di Indonesia antara lain:

  • Pengeluaran barang/petikemas lebih banyak (didominasi) angkutan jalan raya (yang selalu macet).
  • Terbatasnya lahan penumpukan yang dimiliki pelabuhan.
  • Sistem informasi dan komunikasi secara elektronik belum berjalan  secara penuh dan terintegrasi dalam proses clearance dokumen, armada (kapal dan truk), serta barang.
  • Penyelesaian berbagai dokumen impor masih harus dilakukan di pelabuhan.
  • Industri lokasinya cukup jauh dari pelabuhan.

 

Solusi

  1. Perlu menetapkan pengertian dan metodologi perhitungan dwelling time dan target proses dwelling time masing-masing instansi.
  2. Perlu koordinator untuk 18 instansi kementerian/lembaga dalam satu SOP gabungan/bersama.
  3. Meningkatkan sarana yang memanfaatkan teknologi informasi.
  4. Perlu percepatan pembentukan kelembagaan Indonesia National Single Window dan mengoptimalkan sistem Indonesia National Single Window untuk memercepat proses impor-ekspor barang yang terintegrasi;
  5. Perlu diterbitkannya petunjuk operasional berupa Perpres untuk penguatan kelembagaan Otoritas Pelabuhan (Port Authority) sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan sesuai UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
  6. Pengembangan akses pengeluaran barang/petikemas dengan kereta api.
  7. Memerluas lahan penumpukan dan meningkatkan produktivitas bongkar muat (meremajakan peralatan bongkar muat).
  8. Membangun sistem informasi dan komunikasi secara elektronik yang terintegrasi untuk proses clearance dokumen, armada (kapal dan truk), serta barang.
  9. Menerapkan pelayanan satu pintu satu atap untuk perizinan dokumen impor.
  10. Membangun sarana penumpukan (sentra logistik) di lini 2 pelabuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun