Di tengah pesona alam yang melukiskan kehijauan sawah, terdapat sebuah gubuk sederhana yang menjadi tempat tinggal bagi seorang bapak tua bernama Ana. Usianya yang telah mencapai 78 tahun tidak lagi mampu menutupi derita yang dihadapinya setiap hari. Ana hidup sebatangkara, di gubuk yang hanya memiliki satu ruangan, tanpa pekerjaan dan dengan kesehatan yang semakin memudar.
Gubuk Ana terletak di jantung sawah, menjadi saksi bisu atas perjalanan hidup seorang bapak tua yang harus menghadapi hari-hari sendirian. Dengan setiap senja yang meranggas, Ana terlihat duduk sendiri di ambang gubuknya, menatap langit yang penuh bintang sambil meratapi kehidupannya yang terasa semakin hampa.
Keberadaannya yang hanya ditopang oleh kebaikan hati orang sekitar menjadi bukti bahwa di balik kesederhanaannya, Ana tidak ditinggalkan begitu saja oleh takdir. Setiap hari, warga sekitar saling bergantian memberinya makan. Meski mungkin hanya sebatas nasi sederhana dan lauk seadanya, namun itulah jalinan kemanusiaan yang tetap menghangatkan hati Ana.
Di antara suara gemericik sawah dan rintik hujan ringan, Ana menceritakan kisah hidupnya yang penuh kepedihan. "Saya dulu bekerja di sawah ini, mencoba memberikan yang terbaik bagi keluarga. Namun, seiring berjalannya waktu, kesehatan saya memudar, dan anak-anak saya pergi mencari kehidupan di kota," ucap Ana dengan suara parau.
Ana memiliki anak-anak yang sukses di kota. Mereka memiliki pekerjaan yang mapan dan hidup layak. Namun, ironisnya, sukses yang mereka raih seperti membawa lupa akan keberadaan sang ayah di tengah sawah. Ana meratapi ketidakpedulian anak-anaknya yang jarang mengunjungi atau sekadar memberikan kabar.
"Saya tak pernah meminta banyak, hanya ingin merasakan hangatnya kebersamaan keluarga. Tetapi sepertinya anak-anak saya melupakan bahwa saya masih ada di dunia ini," ujar Ana dengan mata berkaca-kaca.
Ketika tanya tentang mengapa anak-anaknya enggan membawa Ana tinggal bersama mereka, Ana hanya bisa menjawab dengan senyuman pahit. "Mungkin mereka merasa sibuk dengan kehidupan mereka sendiri. Saya hanya khawatir, sukses yang mereka raih membuat mereka melupakan perjuangan dan kasih sayang yang pernah saya berikan."
Meskipun hidup di tengah keterbatasan, Ana tidak kehilangan kekuatan untuk mensyukuri setiap hari yang diberikan kepadanya. "Saya tidak bisa memilih takdir ini, tapi saya belajar menerima. Terkadang saya bertanya pada diri sendiri, apakah ini jalan yang harus saya tempuh? Hidup sendiri di sini, hanya ditemani kenangan."
Suasana gubuk Ana menjadi semakin hening ketika senja mulai merayap pergi. Hanya suara langkah kaki jangkrik dan desir angin malam yang menemani Ana. Di dalam hatinya, ada kepedihan yang tak terkatakan, kepedihan seorang ayah yang merasa dilupakan oleh anak-anaknya.
Berbicara tentang masa lalu, Ana teringat akan kebersamaan saat anak-anaknya masih kecil. "Mereka dulu dekat dengan saya. Bermain di sawah ini, tertawa bersama. Tapi seiring berjalannya waktu, semuanya berubah," kenang Ana sambil menundukkan kepala.
Namun, di balik kesedihan yang menyelimuti kehidupan Ana, masih ada harapan yang membara. Ia memahami bahwa hidup terus berputar, dan meski anak-anaknya tampak melupakan perjuangan dan pengorbanannya, Ana berharap suatu hari mereka dapat menyadari nilai sejati dalam hidup.