[caption id="attachment_346891" align="alignnone" width="680" caption="foto : Tribun"][/caption]
Ibarat Menelan Buah Simalakama
Pembahasan UMK
Sebentar lagi, diseluruh pelosok Indonesia akan melakukan pembahasan besaran upah minimum kota (UMK) di setiap daerah. Seperti sudah menjadi suatu tradisi, disetiap pembahasan UMK ini selalu saja diwarnai dengan aksi demonstrasi dari para buruh yang menuntut UMK yang layak. Tak jarang aksi tersebut selalu berakhir ricuh.
Pembahasan UMK ini, bagi pemerintah ibarat menelan buah simalakama. Kenapa? Sebab, satu sisi pemerintah harus menetapkan harga yang pas agar para buruh tidak berontak. Satu sisi lainnya, pemerintah juga harus memperhatikan dan mendengarkan kemauan dari pengusaha. Dua sisi inilah yang harus dipikirkan secara matang oleh pemerintah baik itu di pusat maupun daerah.
Jika salah menetapkan UMK, bukan tidak mungkin pemerintah akan menjadi bahan cemoohan para buruh, karena dianggap tidak mampu memperhatikan kesejahteraan mereka. Namun, pemerintah juga wajib mendengarkan masukkan dari pengusaha. Karena pada dasarnya pengusahalah yang berkewajiban untuk membayarkan gaji para buruh. Jika harga UMK yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi bukan tidak mungkin pengusaha akan hengkang bahkan bisa saja gulung tikar karena tidak mampu mengimbangi biaya produksi.
Hal inilah yang harus dipikirkan secara matang oleh pemerintah. Karena pada dasarnya buruh sebagai rakyat hanya menginginkan kehidupan yang layak dan sejahtera. Pengusaha pun seperti itu juga, mereka (pengusaha) sebenarnya hanya ingin berusaha dengan suasana kondusif dan aman.