PENDIDIKAN SEBAGAI AGEN PERUBAHAN
(Era Perjuangan Modern di Nusantara)
Sejak bangsa penjelajah dari Eropa mendarat di Nusantara, gelagat penjajahan sudah mulai terlihat. Mulai dari sistem perdagangan yang kurang sehat (monopoli dagang) hingga mengganggu sistem pemerintahan lokal. Gubernur Jenderal VOC, J.P. Coen menjadi peletak dasar penjajahan di Nusantara, hingga pada tahun 1800 bentuk penjajahan ditegaskan melalui pemerintahan kolonial Republik Bataaf. Sejak saat itu, wilayah Nusantara pun resmi disebut sebagai Hindia-Belanda, yang berarti wilayah Hindia[1] yang dikuasai Belanda. Sikap santun pribumi Nusantara berubah menjadi bentuk perlawanan nyata, di samping adanya sebagian kecil oknum pribumi yang diuntungkan dan tetap memihak para penjajah. Perlawanan-perlawanan yang terjadi lebih diwarnai dengan perlawanan fisik yang identik dengan peperangan. Gigihnya daerah-daerah Nusantara melawan para penjajah dari Eropa memang cukup merepotkan pemerintah kolonial. Namun, perlawanan-perlawanan menggelora tersebut akhirnya satu-persatu dapat dipadamkan, mulai dari Pattimura yang memimpin rakyat Maluku hingga Kesultanan Aceh yang dikenal sangat kuat.
Memasuki abad ke-20, lahir kebijakan baru pemerintah Belanda yang diinspirasi dari ide Van Deventer untuk membalas budi atas penderitaan pribumi Nusantara akibat eksploitasi Belanda, sehingga melahirkan era baru: Politik Etis (1901-1942). Program unggulan Politik Etis terdiri dari: irigasi (pengairan), transmigrasi (perpindahan penduduk ke daerah baru), dan edukasi (pendidikan). Program unggulan tersebut juga didukung dengan pembangunan sarana transportasi dan komunikasi, contohnya pembangunan jalan raya, rel kereta api, serta mulai berkembangnya media massa (pers).
Meskipun pada akhirnya realisasi Politik Etis itu mengarah kepada kepentingan pemerintah kolonial Belanda, namun juga mendatangkan beberapa keuntungan bagi pribumi Nusantara. Keuntungan yang cukup signifikan adalah program edukasi, di mana Belanda memberikan pendidikan Barat/Modern kepada sebagian kecil kaum pribumi, terutama anak-anak pejabat. Efek dari pendidikan modern tersebut kemudian melahirkan golongan terpelajar di kalangan pribumi. Selain kemampuan membaca dan menulis, mereka juga mendapatkan wawasan baru mengenai paham-paham modern dan juga sistem organisasi modern. Mereka juga mampu mengakses informasi mengenai peristiwa-peristiwa internasional. Hal-hal tersebut menginspirasi para kaum terpelajar untuk mewujudkan kemajuan di tanah airnya.
Golongan terpelajar pribumi juga kemudian sadar bahwa kelemahan mendasar perjuangan pribumi, yang selama ini selalu berujung pada kegagalan, adalah kurangnya kesadaran bahwa daerah-daerah di Nusantara sedang mengalami nasib yang sama, yaitu penjajahan yang dilakukan oleh pihak yang sama. Sementara, sebelumnya daerah-daerah pribumi melakukan perlawanan fisik dalam skala lokal/kedaerahan, artinya tanpa koordinasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Barulah kemudian disimpulkan koordinasi antara satu daerah dengan derah lainnya perlu diwujudkan dalam satu semangat yang sama: NASIONALISME. Dengan semangat nasionalisme, perjuangan dilakukan bukan untuk daerahnya atau suku bangsanya sendiri, tapi demi sebuah bangsa baru yang beraneka ragam di bawah satu naungan negara yang merdeka dan berdaulat: INDONESIA.
Berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 menandai awal perjuangan modern suatu bangsa yang kemudian menamakan diri Indonesia, yaitu dengan melalui organisasi-organisasi pergerakan. Pada perkembangannya, trend berorganisasi ini bermunculan juga di wilayah-wilayah luar Jawa, baik organisasi kepemudaan, keagamaan, bahkan organisasi wanita. Didukung media massa, gagasan nasionalisme mulai terbangun. Gagasan tersebut mengerucut pada pembentukan suatu negara merdeka, yaitu Negara Indonesia. Organisasi-organisasi yang semula bersifat moderat atau cenderung kooperatif dengan pemerintah Belanda, perlahan berubah menjadi organisasi-organisasi politik yang bertujuan: Indonesia Merdeka. Perubahan ini tentu beresiko tinggi, mengingat saat itu pemerintah kolonial Belanda masih berkuasa sepenuhnya. Tentu hal ini tidak akan didiamkan saja sehingga banyak tokoh-tokoh di balik organisasi politik tersebut yang ditangkap oleh Belanda, sementara organisasinya dibubarkan. Namun, rintangan ini tidak menyurutkan langkah para pejuang modern Indonesia. Mereka semakin radikal dan berani menyatakan identitasnya melalui Sumpah Pemuda (1928), sebagai Bangsa Indonesia yang bertanah air dan berbahasa Indonesia. Sumpah Pemuda membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah terbangun di atas barisan persatuan suku bangsa yang berbeda-beda. Perbedaan yang menjadi fondasi berdirinya persatuan, BHINEKA TUNGGAL IKA.
Â
[1] Pada awalnya, bangsa-bangsa penjelajah dari Eropa beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Mereka menyebut daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok dengan istilah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan kepualuan Nusantara disebut "Kepulauan Hindia" atau "Hindia Timur".
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H