Mohon tunggu...
M Ijlal Rafi
M Ijlal Rafi Mohon Tunggu... Lainnya - Sociological Imagination

Jakarta State Islamic University

Selanjutnya

Tutup

Life Hack

Lawan Rasisme

28 Juni 2020   05:10 Diperbarui: 2 Juni 2022   23:31 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam gerakan sosial, pendekatan Collective Action Frames dijadikan sebagai strategi untuk menjelaskan secara komperehensif bagaimana gerakan sosial bisa berjalan dan berhasil sesuai dengan tujuan yang sudah di rencanakan. Kerangka (frame) dibangun untuk memberikan makna dan menginterpretasi kejadian atau kondisi tertentu, untuk memobilisasi massa serta untuk mendapat dukungan dari berbagai pihak [2]. Pendekatan ini menjadikan gerakan sosial menjadi cerminan nilai-nilai yang akan dilakukan untuk melakukan perubahan. Pada hari Senin tanggal 15 Juni 2020, terdapat aksi demonstrasi di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta pusat. Gerakan sosial ini menuntut pembebasan tanpa syarat terhadap tujuh orang warga papua yang akan menjalani sidang putusan pada tanggal 17 Juni di Pengadilan Negeri Balikpapan. Tujuh warga papua menjalani proses hukum karena diduga terlibat makar dalam aksi unjuk rasa di Kota Jaya Pura pada pertengahan tahun lalu akibat dari tindakan rasisme mahasiswa Papua di Surabaya. Mereka menjalani proses hukum di pengadilan Negeri Balikpapan karena untuk menghindari potensi konflik saat putusan sidang. Tujuh orang mahasiswa dan aktivis tersebut antara lain Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengky Hilapok, Irwanus Urobmabin, Buchtar Tabuni, Mimika Steven, dan Agus Kossay.

Gerakan sosial yang menuntut pembebasan tujuh tapol diatas telah menggunakan strategi framing dalam memobilisasi massa. Massa aksi yang mengatasnamakan solidaritas pembebasan papua menggunakan isu rasisme sebagai cerminan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan yang harus dimusnahkan karena dapat menimbulkan diskriminasi dan kekerasan rasial. Nilai-nilai tersebut digunakan untuk mendorong individu atau kelompok agar terlibat dalam gerakan sosial pembebasan tujuh tapol sehingga aksi kolektif pun bisa dijalankan. Gerakan sosial ini tentunya membutuhkan motivasi melalui isu anti rasisme yang dikemas secara apik agar kelompok lain merasakan keresahan yang sama, sehingga mengundang lebih banyak massa untuk terlibat dalam aksi pembebasan tujuh warga papua.

Isu anti rasisme yang terus diangkat saat melakukan aksi pembebasan tujuh warga papua sangat diperlukan untuk menarik massa agar ikut berpatisipasi. Gerakan ini berlangsung saat masa transisi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) akibat wabah pandemi virus corona yang menyerang negara Indonesia. Pemerintah telah membuat protocol kesehatan demi menekan angka penyebaran virus corona, seperti tidak membuat kerumunan, memakai masker dan menjaga jarak 1 meter antara satu dengan yang lain. Masyarakat melakukan aksi unjuk rasa dengan menerapkan protocol kesehatan yang telah diberikan. Kedatangan virus corona yang dapat menular tidak membuat massa takut untuk mewujudkan gerakan sosial demi melakukan aksi pembebasan tujuh warga papua, hal tersebut dikarenakan keberhasilan isu rasisme yang telah dibangun. Isu tersebut telah membakar semangat solidaritas warga papua dan kelompok lainnya.

Strategi framing isu rasisme yang digunakan dalam gerakan ini dijadikan sebagai wadah untuk mencitrakan atau membranding agar aksi pembebasan yang dilakukan dilihat oleh masyarakat atau kelompok lain. Isu rasisme yang menjadi bingkai dalam gerakan ini memang sangat krusial untuk diperhatikan karena tidak pernah terselesaikan, terlebih lagi warga papua yang memiliki ciri khas kulit warna hitam seringkali didiskriminasi oleh individu atau kelompok lain karena ciri khasnya tersebut. Penegakan prinsip-prinsip keadilan yang menjadi salah satu tujuan dalam gerakan ini adalah untuk menarik partisipan dan melegitimasi agar mempunyai dasar atau pondasi yang kokoh.

Konsep framing menurut Goffman (1974) adalah individu mempersepsikan, melihat dan menilai suatu gerakan sosial. Frame alignment merupakan hubungan individu dengan orientasi organisasi gerakan sosial sehingga kepentingan, minat, nilai-nilai, kepercayaan, kegiatan, tujuan serta ideologi individu dan organisasi gerakan sosial bisa saling melengkapi. Perkembangan isu yang dilakukan oleh massa aksi solidaritas pembebasan papua memiliki orientasi yang sama dengan masyarakat. Mereka mengatasnamakan persamaan senasip atas ketidakadilan dan tindakan rasisme yang pernah dirasakan. Hal ini lah yang membuat individu ataupun kelompok lain terlibat ke dalam gerakan tersebut. Menurut Porta and Diani [2] terdapat empat jenis proses frame alignment yaitu:

(a). Frame bidging, merupakan kerangka yang menjembatani yang dimana terdapat beberapa organisasi gerakan sosial dalam industri yang sama. Selain itu, kerangka ini juga digunakan untuk menjembatani nilai-nilai yang ada di masyarakat terhadap gerakan sosial yang akan dilakukan. Gerakan sosial yang menuntut pembebasan tujuh warga papua menggunakan isu rasisme yang termasuk ke dalam nilai-nilai kemanusian dalam menjalani kehidupan. Gerakan ini juga menggunakan nilai-nilai keadilan yang harus ditegakan untuk menuntaskan tuntutannya. Nilai-nilai tersebut pastinya sangat didamba-dambakan oleh masyarakat agar individu dapat menjalani kehidupannya dengan damai. Maka dari itu, gerakan ini telah memiliki nilai-nilai kehidupan yang akan didukung oleh masyarakat.

 (b). Frame amplification, mengklarifikasi masalah atau serangkaian peristiwa yang berhubungan langsung dengan kehidupan individu yang diselimuti oleh ambiguitas dan ketidakpastian sehingga bergantung dengan adanya suatu klarifikasi. Kerangka ini memunculkan satu nilai atau ideologi dari banyak nya nilai, lalu nilai tersebut akan selalu digembor-gemborkan. Gerakan sosial yang ingin membebaskan tujuh warga papua memiliki argumen bahwa warga tersebut tidak melakukan makar, mereka hanya menyampaikan aspirasinya mengenai anti rasisme dan keadilan hak asasi manusia saat melakukan aksi karena buntut konflik rasisme mahasiswa papua di Surabaya. Gerakan ini mempunyai isu utama yang paling di andalkan dalam melibatkan massa, yaitu isu rasisme.

(c). Frame extention, perluasan frame isu untuk mempromosikan dari gerakan sosial tersebut sehingga menyambung jadi beberapa frame. Kerangka ini bertujuan untuk menambahkan nilai-nilai yang digunakan untuk melancarkan aksi gerakan sosial. Gerakan yang mengatasnamakan solidaritas pembebasan papua tidak hanya menggunakan isu rasisme dalam mewujudkan aksinya, tetapi gerakan ini juga menggunakan prinsip-prinsip keadilan sebagai nilai yang harus di junjung tinggi. Nilai-nilai keadilan digunakan dalam gerakan ini karena mereka ingin individu ataupun kelompok lain yang telah melakukan tindakan rasisme terhadap warga papua harus diusut tuntas melalui proses hukum yang berlaku.

(d). Frame transformation, dari adanya perluasan frame isu tersebut dilakukan untuk memobilisasi massa sehingga dapat mendatangkan massa yang lebih banyak dengan cara mengubah nilai-nilai pada gerakan sosial tetapi masih satu jalur. Gerakan pembebasan tujuh warga papua ini telah meluaskan isu rasisme menjadi isu kemanusiaan, hal ini dilakukan agar individu ataupun kelompok lain bisa merasakan makna isu yang telah dibangun. Isu yang digunakan bukan hanya dirasakan oleh golongan atau kelompok tertentu saja, tetapi juga masyarakat luas sehingga gerakan ini dapat melibatkan massa sebanyak-banyak nya.

Penulis: Muhammad Ijlal Rafi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Life Hack Selengkapnya
Lihat Life Hack Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun