Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rumah Yesus di Kota Santri

4 Desember 2021   11:24 Diperbarui: 4 Desember 2021   11:30 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk ke sekian kalinya, saya menjejakkan kaki di kota ini. Senja yang berselimut mendung terlihat jelas ketika melewati batas kota. Beberapa kali kendaraan yang saya tumpangi melaju di sisi pantai. Tetapi senja itu pantai berkelumun awan gelap. Tiada rona keemasan seperti biasanya menjelang senja sekarat di pantai itu.  Tidak berselang lama, hujan yang berinai-rinai pun menyambut saya. Boleh jadi musim hujan belum beranjak dari kota ini, padahal sepanjang jalan dari Makassar, matahari terasa garang membakar.

Geertz, seorang antropolog Amerika dalam "Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight" bercerita, ketika mengunjungi  satu desa terpencil di Bali  pada 1958,  ia datang dengan malu-malu dan canggung. Ia merasa dan memang dipandang sebagai orang lain oleh komunitas yang didatanginya. Tetapi tentu tidak demikian dengan saya.  Saya datang dengan perasaan riang dan akrab. Bukan semata karena saya sudah berulang kali menyambangi kota ini, tetapi saya memang memiliki banyak sahabat kental  di sini.

Lebih dari itu semua, masyarakat etnis Mandar selalu menganggap tamu adalah bagian dari warga mereka sendiri. Prinsip itu tertuang dalam ungkapan yang puitis: "Mua purai mandundu uwainna to mandar,  menjari to mandarmi" (Jika sudah meminum air di orang Mandar, maka sudah menjadi  orang Mandar).             

Kota yang saya kunjungi ini adalah Polewali Mandar (Polman). Salah satu kabupaten di Sulawesi Barat yang persis berbatasan dengan Pinrang, kabupaten di ujung barat Sulawesi Selatan. Dulunya tempat ini bernama Polewali Mamasa (Polmas). Sejak menjadi Provinsi sendiri, yakni Sulawesi Barat, Polewali dan Mamasa sudah menjadi dua kabupaten terpisah.

Sejak kedatangan saya beberapa tahun lampau untuk melihat pesantren-pesantren  khususnya di dua tempat, Campalagian (Campa) dan Tinambung, saya menjuluki Polman ini sebagai kota santri. 

Tentu saja saya punya alasan dengan gelar kota santri tersebut. Di antaranya, karena di Polman ini, khususnya di Campa dan Pambusuang, budaya santri sangat kental. Di Campa ada dua tempat, yakni Bonde dan Parappe yang menjadi pusat belajar membaca kitab kuning. Tradisi belajar membaca kitab kuning, atau mangaji kitta adalah salah satu ciri yang menonjol dari santri dan pesantrennya. Setidaknya begitulah yang disebut Zamakhsyari Dhofier (1982) dari lima elemen penting sebuah pesantren.

Di Bonde, boleh dibilang, kampung itu sendiri adalah pesantrennya. Di kolong-kolong rumah para Annangguru (gelar Kiai di Mandar) digelar mangaji tudang.  Mangaji tudang semacam mengaji kitab dengan duduk setengah melingkar di hadapan seorang Annangguru.  Jika muslim liburan di kampus, mahasiswa dari berbagai penjuru datang berbondong-bondong belajar mangaji kitta di kampung ini.

Sementara di Parappe, berdiri beberapa pesantren, di antaranya yang cukup terkenal adalah pesantren As-salafy-Parappe. Di pesantren itu, santri diasramakan lalu secara kontinu dan telaten belajar ilmu-ilmu alat untuk memahami kitab kuning. Salah satu yang terkenal itu adalah shara'paggalappo, yaitu ilmu alat untuk mempermudah memahami  nahwu-shorof.

Adapun di Pambusuang, selain di beberapa rumah dilakukan pula belajar membaca kitab kuning, setiap lepas magrib digelar pengajian di Masjid kampung. Daerah ini juga terkenal dengan kajian-kajian tasawufnya. Warga yang bahkan tidak secara spesifik belajar agama atau mengaji kitab, juga menjadi pengamal dari beberapa ajaran tasawuf yang didapat dari Annangguru. Warga semacam ini bisa dianggap sebagai santri mustami',  yakni santri yang tidak ikut belajar mengaji kitab, tetapi menjadi pendengar dan pelaksana dari ajaran para Annangguru.

Proses nyantri di Polman, khususnya di dua tempat tadi, bisa dianggap sebagai bagian dari talqin bil mubasyarah.   Dalam proses itu pilar pentingnya adalah keinginan dari para santri itu untuk Attudang Guru yaitu komitmen kuat untuk belajar pada Annangguru. Komitmen itu ditunjukkan dengan  ketaatan dan sikap muhakah (meneladani) serta siap untuk mengamalkan pengetahuannya. Cara semacam inilah yang dianggap sebagai kesungguhan untuk mencari ilmu agama untuk mendapatkan barakka (berkah/kemuliaan) dalam belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun