Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar dari Rumah; Disiplin ala Sekolah di Tengah Pandemi Corona

10 April 2020   13:33 Diperbarui: 11 Juli 2020   21:31 2685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadang-kadang ada juga guru yang sedikit gagap teknologi. Misalnya pelajaran yang ditugaskan ke murid-muridnya, disuruh print out, jilid, lalu foto. Fotonya yang kemudian dikirim melalui WhatsApp. Padahal tugasnya dalam bentuk file sejatinya bisa langsung dikirim melalui WhatsApp, tanpa perlu diprint.

Situasi ini menunjukkan bagaimana Smartphone bertindak sebagai panopticon. Maksudnya, smartphone berfungsi sebagaimana menara penjara yang sedang mengawasi narapidana, hanya saja kali ini berubah menjadi alat yang mengawasi siswa. Pengawasan yang lebih melekat, karena smartphone ada pada diri siswa masing-masing. 

Kedua, untuk memperlancar proses ini, digunakanlah sistem pendisiplinan yang lain, yakni mekanisme penghukuman. Algojonya adalah orang tua siswa atau murid. Melalui smartphone orang tua (utamanya ibu-ibu) diarahkan untuk memastikan anak didik itu memahami atau menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan rumahnya. Untuk keperluan itu, maka orang tua sebagai algojo menggunakan cara-cara penghukuman. Mulai dari bentakan, ancaman, bahkan sampai menghukum secara fisik dijadikan cara, agar siswa (anak-anaknya) bisa menyelesaikan tugasnya. Untuk hal ini, saya sendiri menyaksikan, dua kali anak saya menangis dibentak-bentak oleh ibunya.

Seorang teman di media sosial, tentu dengan bercanda, menyatakan; "corona memang menakutkan, tapi bagi anak-anak sekolah, diajar oleh ibunya juga tak kalah bikin empot-empotan."

Terang di sini, proses pendidikan yang sedang menyebarkan ancaman dan menakutkan bagi siswa sedang berlangsung. Mau tidak mau siswa harus taat dan patuh.  Di tengah-tengah itu tentu ada-ada saja siasat para anak sekolah ini untuk mengelabui orang tuanya.  Tetapi saya tidak akan membahasnya di sini. Mungkin di kesempatan lain.

"Tetapi apakah dengan demikian anak-anak sekolah tidak perlu didisiplinkan?" Salah...jangan begitu pertanyaannya.  Seharusnya kita bertanya; "pendisiplinan itu untuk kepentingan siapa?  Apakah siswa ikut menjadi subjek dalam proses pendisiplinan ini atau hanya jadi objek belaka? Apakah benar sekolah yang sedang melakukan individualisasi terhadap siswa itu untuk kepentingan siswa yang bersangkutan atau hanya agar target sekolah terpenuhi?

Kita saksikan, semakin sekolah itu dianggap favorit dan semakin standarnya tinggi, pembebanan dan disiplinnya terhadap siswa juga semakin ketat. Apakah semua ini bukan karena sekolah itu ingin tetap diakui berada pada posisinya sebagai sekolah favorit atau sekolah dengan standar yang tinggi? 

Jauh-jauh hari Paulo Freire (1972) telah memperingatkan bahwa rezim pendidikan, yang bernama sekolah itu terjebak pada situasi yang disebutnya fear of freedom, takut akan kebebasan. Sekolah tergantung pada pola dan standar yang sudah dibakukan dan kehilangan inisiatif untuk bebas dari itu.  Karena ketergantungan yang akut, maka sekolah juga takut memberikan kebebasan pada para siswanya untuk menentukan sendiri apa yang akan dicapainya, tentu sesuai dengan potensi yang dimilikinya. 

Maka begitulah seterusnya. Sekolah hanya berkutat menentukan aturan, pengetahuan yang harus dipelajari, bagaimana kita harus belajar dan apa yang kita harus capai. Celakanya ia pun bergantung pada sistem yang dibentuknya itu.  Mungkin karena itulah John Holt (1969) dalam tulisannya School is bad for Children, menyebutkan, nyaris semua anak sebelum masuk sekolah; lebih pandai, lebih ingin tahu, sedikit takut, penuh inisiatif dan tangguh menghadapi masalah ketimbang apa yang didapatkannya dari sekolah. Mengapa demikian? Karena setelah sekolah, demikian Holt dalam tulisannya di koran Saturday Evening Post, anak-anak cerdas dipaksa memamah berbagai pelajaran yang harus dipelajari karena demikianlah aturannya.

Padahal pendidikan, sebagaimana dunia, kata Freire, bukanlah satu tatanan yang statis dan tertutup, dimana orang hanya bisa menyesuaikan diri. Pendidikan dan dunia adalah bahan mentah yang harus digeluti dan dipecahkan.  Setiap manusia adalah subjek yang mampu bertindak dan punya peluang  untuk menggeluti, mengubah dan memecahkannya, tak terkecuali anak didik.

Corona, lagi-lagi menyingkap salah satu borok dari dunia sekolah kita. Melalui pembelajaran dari rumah itu, kita bisa melihat secara terang bagaimana proses pendisiplinan itu berlangsung dan anak didik kita dijadikan objek sedemikian rupa. Salah guru? Tentu saja bukan. Guru yang mulia itu juga adalah objek-objek yang terperangkap dalam sistem pendidikan kita yang tidak membebaskan ini.  Begitulah kira-kira....!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun