Â
 "Seorang terpelajar seharusnya adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatannya" (Ucapan Jean Marais terhadap Minke dalam Bumi Manusia Karya Pram)Â
Â
Betullah apa yang dikhawatirkan oleh Nyai Ontosoroh. Dalam pengadilan putih yang terhormat tersebut, hubungan antara Minke dengan Annelies disinggung oleh Hakim. Meski tak jelas juntrungannya, hubungan itu menjadi bahan perbincangan dan ejekan dalam pengadilan putih tersebut.Â
Mula-mula Minke ditanyakan di kamar mana ia tidur? Apakah sudah lama Ia tidur sekamar dengan Annelies? Â Lalu ruangan sidang itu pun mengaung laksana ratusan lebah dengan kata cacian, ejekan dan hinaan pada Minke dan Annelies.
Mendengar itu, Nyai Otosoroh lantas menegakkan dadanya, dengan mata yang tajam ia menatap pada Hakim dalam pengadilan yang terhormat itu. Kemudian dengan segala keberanian, Ia melontarkan pernyataan yang tajam. Â
"Mengapa sidang yang terhormat tiba-tiba mengusik hubungan Minke dan Annelies? Mengapa hubungan mereka yang dilandasi oleh cinta yang sama-sama tulus, dipersoalkan, diejek dan dicaci?Â
Tarulah mereka telah melabrak etika kepantasan, bahkan ajaran agama, tetapi mengapa tidak ada satu pun yang pernah mempersoalkan ketika Tuan Mellema, mengambil dirinya (Nyai Ontosoroh) sebagai gundik?Â
Menjadikan dia sebagai Nyai tanpa melalui perkawinan yang sah? Mengapa semua bungkam saat kaum kolonial yang dianggap paling beradab itu menjadikan perempuan-perempuan pribumi sebagai gundik, tanpa kejelasan hak, bahkan diperlakukan sewenang-wenang nyaris seperti pembantu?"
Dalam persidangan itu, Â Nyai Ontosoroh seolah-olah sedang menampar muka kaum kolonial dan orang-orang yang merasa dirinya sebagai penjaga moral yang paling beradab. Â Nyai Ontosoroh seakan sedang memajang cermin di hadapan mereka. Memperlihatkan siapa sesungguhnya orang-orang yang merasa beradab itu.Â
Dalam sidang itu pula Nyai Ontosoroh telah melakukan perlawanan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, sebagai seorang Nyai, gundik dan sebagai seorang perempuan pribumi.Â