Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

The Women's Mosque Movement

18 Desember 2018   10:08 Diperbarui: 18 Desember 2018   10:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan-perempuan tersebut ikut berkiprah di ruang publik; belajar mengaji, masuk dalam club sastra, melakukan kajian Islam, tetapi tetap dalam ruang-ruang yang diasumsikan 'Ortodoksi Islam' oleh sementara kalangan. Mereka melakukan secara eksklusif, hanya bersama dengan perempuan saja. Ini mengikuti pandangan umum kaum Islamisme bahwa ruang antara perempuan dan laki-laki tidak boleh sama.

Di dalam pembedaan, yang diasumsikan diskriminatif oleh feminisme liberal, perempuan-perempuan muslim ini justru membangun model pemberdayaan sendiri. Gerakan ini sekaligus menantang konsepsi-konsepsi feminisme liberal yang marak di dunia saat ini. 

Hal-hal yang dianggap sebagai subordinasi perempuan atas otoritas laki-laki seperti rasa malu, kerendahhatian, tidak bisa berbaur dengan lelaki atas nama kesopanan, justru digunakan dalam gerakan-gerakan pemberdayaan kaum perempuan muslim ini.  

Dengan menggunakan idiom-idiom yang dianggap ortodoks itu, nyatanya aktivis perempuan muslim di Mesir mampu memberdayakan sesama perempuan. Bahkan gerakan mereka sampai menyentuh soal pemberdayaan ekonomi keluarga. 

Konon, menurut istri saya, pengajian perempuan di kompleks kami, juga membicarakan hal itu, walau kini masih terfokus pada belajar membaca Alqurannya.   Ternyata idiom-idiom yang diasumsikan menindas, justru dibutuhkan dalam gerakan pemberdayaan ini. Kata Saba Mahmud (2011):  "In other words, women's subordination to feminine virtues, such as shyness, modesty, and humility, appears to be the necessary condition for their enhanced public role in religious and political life"

Mungkin letak persoalan dari feminisme liberal adalah salah mengenali bentuk-bentuk perlawanan (pemberdayaan) perempuan, khususnya perempuan dunia ketiga, lebih khusus lagi perempuan muslim.  Jauh sebelum Saba Mahmud,  Leela Abu-Lughod (1990) sudah mengajukan satu pertanyaan provokatif: "bagaimana kita bisa mengenali contoh-contoh perlawanan perempuan dengan "salah menafsirkan bentuk-bentuk kesadaran atau politik yang bukan bagian dari pengalaman mereka?"  Dan demikianlah, apa yang ditunjukkan oleh perempuan Mesir dan perempuan-perempuan di kompleks saya menunjukkan adanya bentuk kesadaran pemberdayaan yang berbeda itu.

Sayangnya yang saya amati hanya terbatas di seputar kompleks di mana saya tinggal. Maka yang menonjol di sini hanya gerakan dari para perempuan aktivis Wahdah Islamiyah tersebut. Di luar sana, di lingkungan yang berbeda, saya yakin Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiah Muhammadiyah juga tengah berjibaku dengan model pemberdayaan lainnya. Apakah gerakan pemberdayaan mereka juga menantang feminisme liberal ? Entahlah...

Sementara itu hujan yang tadinya bagai ditumpahkan dari langit, mulai reda. Kini yang tersisa tinggal hujan yang berinai-rinai. Tetesannya yang mulai jarang itu, lembut menyentuh atap rumah. Seiring azan Isya yang mulai mengalun lembut di angkasa, istri saya pun bergerak meraih payung. Parasnya yang tadi sengkarut kini mulai semringah, malam itu ia tetap bisa menghadiri pengajian di mesjid kompleks.  

         

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun