Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Perlu Menuduh Komunitas Adat Musyrik

11 Oktober 2018   19:25 Diperbarui: 12 Oktober 2018   12:12 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komunitas lokal yang tersebar di sekujur bumi Nusantara hingga hari ini masih setia dengan berbagai perayaan  dan ritual adatnya. Dengan dan melalui berbagai ritual tersebut, komunitas lokal membangun hubungan yang harmonis dengan semesta. Melalui itu pula mereka semakin mengakui adanya kekuatan agung Sang Pencipta melebihi dan di atas segalanya.

Selama berhubungan dengan berbagi komunitas lokal di Sulsel, saya tidak pernah mendengar bahwa saat melakukan ritual mereka sedang melakukan penyembahan pada benda, pohon atau gunung tertentu. Mereka melakukan ritual di dekat hutan, di tepi sungai atau pun di pinggir laut hanya sekedar membangun hubungan dengan alam yang dianggap masih bersaudara dengan mereka.

Komunitas lokal itu, tidak pernah meyakini ada kekuatan pada sungai ataupun pohon tersebut. Justru yg mengatakan itu adalah EB Tylor. Seorang antropolog kolonial yg hanya ingin menunjukkan bahwa ritual masyarakat lokal, masihlah ritual primitif.  

Keyakinan yg masih purba yg kelak berevolusi dan berkembang sesuai dengan alam pikirannya yg semakin modern. Jelas pandangan ini bias kolonial, dan celakanya kita justru meyakini itu. Maka dengan mudah kita menuduh mereka anemisme, savage atau musyrik.

Setelah beberapa bencana alam terjadi, tiba tiba nalar kita yang menganggap perayaan dan ritual adat itu musyrik menggeliat bangkit. Dari mana bisa muncul pikiran demikian? Entahlah,  tapi jangan-jangan pengaruh kolonial itu masih mengendap di bawah sadar kita dan hanya menunggu momentum untuk terjaga. Padahal dalam kehidupan modern ini bukankah lebih baik melihat peristiwa alam itu dalam kaca mata ilmu pengetahuan.

Tentu sangat baik pula, jika ingin  melihatnya dari sisi agama. Namun  jika pun kita menganggap bahwa itu teguran dari Allah, bukankah jauh lebih apik kita bermuhasabah, melongok ke dalam diri kita masing-masing. Bertanyalah pada hatimu, apakah selama ini kita tidak sedang berkelumun debu kefasikan dan berkubang dalam lumpur penuh dosa? Itu jauh lebih bijak daripada melimpahkan kesalahan untuk dipikul oleh orang atau kelompok lain.

Saya ingat di suatu sore menjelang senja, Amma Toa pemangku adat di Tanah Toa Kajang bertanya: "jika ananda mengucapkan takbir saat shalat, siapa yg engkau bayangkan? Jika engkau hanya membayangkan huruf huruf....maka siapakah sesungguhnya yg engkau sembah?"

Saya hanya terdiam. Tapi diam-diam dalam hatiku bertanya-tanya

"Jika sudah demikian, maka siapakah sejatinya yg musyrik itu?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun