Dalam rumus relasi kekuasaan, jika ada satu pihak yang cenderung mendominasi, maka  akan muncul reaksi perlawanan. Bentuknya bisa resistensi langsung dan bisa dalam bentuk negosiasi. Tujuannya agar relasi kekuasaan itu berjalan imbang. Maka sikap masyarakat yang tiba-tiba resisten terhadap soal cadar ini, bisa dibaca sebagai bentuk dari arus balik, ketika diskursus menutup aurat ini begitu kuat didominasi oleh kelompok fundamentalis Islam.
Coba kita perhatikan makna cadar ini dalam kamus Indonesia. Cadar sebenarnya bermakna umum, yaitu satu penutup kepala atau muka (bagi perempuan);  bahkan bisa bermakna  kain penutup meja; alas meja; seprai (untuk kasur). Tidak ada kesan makna cadar itu terkait dengan soal religius tidaknya seseorang. Ingat dulu kita pernah mendengar ada Sandiwara Radio Putri Cadar Biru, tetapi kesan yang ditimbulkannya bukan seorang perempuan syar'i, tapi malah perempuan yang cantik jelita di balik cadar birunya.
Bandingkan dengan sekarang, makna ini bergeser menjadi bagian dari perilaku syar'i. Dalam Wikipedia Indonesia selain dikatakan sebagai penutup kepala dan muka juga ditambahkan bahwa kata lain dari cadar adalah Niqab. Kata ini dijelaskan sebagai  istilah syar'i untuk cadar, yaitu sejenis kain yang digunakan untuk menutupi wajah sebagai kesatuan dari jilbab.  Tentu saja penjelasan Wikipedia ini dipengaruhi dengan perkembangan mutakhir tentang cadar ini.
Sayangnya arus balik terhadap cadar ini gelagatnya juga berujung pada dominasi baru. Salah satu contohnya dengan adanya pelarangan tersebut. Pelarangan terhadap cadar jelas mempergunakan aparatus represif untuk membungkam diskursus, pemahaman dan praktik lain dalam beragama. Cara itu jelas tidak patguna, selain karena akan muncul dominasi baru, cadar pada akhirnya akan menjadi sebentuk perjuangan. Pada gilirannya perempuan muda, khususnya mahasiswi muslim akan semakin bersemangat  menggunakan cadar.  Bukan karena cadar itu dipandang semata-mata sebagai perilaku syar'i, tetapi di dalamnya tersirat spirit perlawanan. Satu hal yang paling disenangi oleh kaum muda, dengan jiwa revolusionernya yang membara.
Saya akan menutup dengan satu ungkapan menarik dari Trinh T. Minh-ha sebagai bahan renungan kita bersama, terlepas relevan atau tidak dengan tulisan ini :
If the act of unveiling has a liberating potential, so does the act of veiling. It all depends on the context in which such an act is carried out, or more precisely, on how and where women see dominance.
 [Jika menyingkap (cadar dan jilbab) memiliki daya pembebasan, maka berjilbab (cadar) juga memiliki potensi yang sama, tergantung dalam konteks apa tindakan itu dilakukan atau tepatnya, tergantung pada bagaimana dan di mana perempuan melihat dominasi.]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H