Beberapa hari terakhir ini kita diributkan lagi soal cadar. Bermula dari adanya larangan menggunakan cadar dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terhitung 5 Maret 2018, lantas muncul berita dosen yang bercadar dicopot dari jabatannya, kemudian pengakuan Kartika Putri yang menganggap dirinya mengalami intimidasi saat di bandara karena persoalan cadar yang dikenakannya,  isu  ini pun menggelinding bak bola panas.  Pro dan kontra meruak dalam ruang publik.
Sejatinya perdebatan tentang cadar yang muncul dalam ruang publik sejauh ini sehat-sehat saja bahkan menggairahkan. Sejauh tidak diarahkan pada kekerasan, maka perbedaan pendapat mengenai cadar ini menyehatkan demokrasi kita.
Saya tertarik ikut membincang soal ini, meski mungkin sudah agak telat. Saya akan memulai tulisan ini dengan pengalaman saya 'bersentuhan' dengan orang bercadar.
Seingat saya di kampus tempat saya kuliah dulu yaitu IAIN Alauddin pada tahun 1995, satu dua mahasiswi telah menggunakan cadar, dan banyak yang memakai jilbab besar, meski tidak bercadar. Tak ada yang aneh waktu itu dengan mereka yang bercadar dan berjilbab besar.
Khusus yang bercadar, meski hubungannya dengan kaum Adam memang sangat terbatas, tetapi tidak ada kesan mereka menutup diri. Kami-kami pun memandang mereka biasa saja, sebagaimana melihat perempuan lain yang parasnya terpampang nyata. Sewaktu-waktu saya sendiri tanpa sengaja atau saya memang sengaja (maaf saya lupa...he..he..) berserobot mata dengan mahasiswi bercadar ini. Si mahasiswi bersangkutan tidak serta merta membuang pandangannya. Sekilas mata dia seutuhnya juga jatuh ke mataku, bahkan saya membayangkan ada senyum di balik cadarnya. Tentu tidak seperti saya, Ia hanya memandang sekilas lalu mengalihkan tatapannya. Mungkin mengikuti hadis Nabi; "pandangan pertama adalah rezekimu." Entahlah...!
Dengan bercanda biasanya saya bilang ke sesama teman lelaki saya, "Matanya bagus, kita bisa bertaruh parasnya tidak kalah rupawan dengan matanya itu." Â Kataku waktu itu. Lalu kita pun tertawa-tawa pelan.
Inilah yang terasa berbeda dengan hari-hari kita terakhir ini. Pada era langgas ini, cadar mulai dipandang oleh mereka yang tidak menjadi bagian dari kelompok yang bercadar sebagai sesuatu yang asing, budaya arab yang dipaksakan masuk ke Indonesia, bukan ajaran Islam, bahkan dalam beberapa percakapan di medsos dianggap menakutkan dan simbol radikalisme. Puncaknya muncullah pelarangan di beberapa institusi dan tindakan yang berlebihan dalam melihat para perempuan bercadar ini. Â
Kenapa muncul sikap seperti yang dipaparkan terakhir dari masyarakat? Benarkah karena perempuan bercadar memang terlibat dalam radikalisme agama? Senyatanya tidak ada bukti yang kuat yang bisa mengidentikkan antara cadar dan radikalisme Islam dan karena itu menurut saya bukan faktor tersebut yang memicu sikap resistensi tadi.
Hal itu terlihat dengan tuduhan yang kurang elok terhadap anak-anak perempuan Quraisy Syihab yang tidak berjilbab atau pun anak-anak perempuan Gusdur yang hanya menggunakan kerudung. Dalam konteks ini ada keinginan kuat dari kelompok tertentu untuk merengkuh kebenaran, sesuai dengan pendapat kelompoknya. Padahal dalam kasus menutup aurat, Â sejatinya adalah diskursus yang masih debateble dalam Islam. Inilah problem authorship dan authority, yaitu satu problem siapa yang memiliki wacana dan siapa yang berwenang mengatakan satu wacana.