Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Senja Kala Kelisanan

5 Desember 2017   09:12 Diperbarui: 7 Maret 2018   20:26 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. groupun.com

Cerita rakyat kakak-beradik Ayuh (Sandayuhan) dengan Bambang Basiwara adalah salah satu babad yang paling lekat dalam bilik ingatan orang-orang Dayak-Meratus dan Banjar. Tersebutlah, ketika kepada dua orang itu diserahkan masing-masing satu kitab suci yang akan menjadi pedoman dalam hidup mereka, Bambang Basiwara sang adik mengambil kitab itu untuk selanjutnya disimpan dan dipelajari. Dari kitab itulah Bambang belajar membaca dan menulis, sekaligus memahami kehidupan secara paripurna. Dengan kitab itu pula Bambang mengenal agama.

Hal yang tidak lazim terjadi ketika kitab lainnya diberikan pada Ayuh. Demikian kitab itu ada padanya, Ayuh justru tidak menyimpan untuk kemudian membacanya, tapi Ia malah menelan kitab itu bulat-bulat.

Bambang Basiwara  kelak dikemudian hari dianggap sebagai cikal bakal orang-orang Banjar, sementara Ayuh adalah moyangnya orang-orang Dayak-Meratus. Kisah ini mengiringi kontestasi dan proses perjumpaan antara Banjar dan Dayak-Meratus. Dari cerita ini sering muncul pemahaman bahwa simbol Bambang yang menerima kitab suci, menunjukkan bahwa Ia dan bangsa Banjar menerima agama langit secara formal. 

Sementara Ayuh justru menjadikan ajaran dan nilai agama luluh dalam dirinya, sehingga dapat dimengerti jika banyak orang-orang Dayak-Meratus yang tidak memeluk agama langit secara formal, sebab agama adalah dirinya itu sendiri dan sikap serta perilaku mereka adalah pancaran agama yang sudah menubuh.

Kisah ini juga menunjukkan bagaimana pertarungan antara keaksaraan yang diwakili oleh Bambang dan kelisanan yang diwakili oleh Ayuh.  Bagi Bambang dan keturunannya yang orang Banjar itu, keaksaraan menjadi penting, karena hanya dengan itulah mereka bisa memahami kitab (kehidupan) tersebut. 

Namun bagi Ayuh dan keturunannya, keaksaraan tidaklah bermakna, soalnya kitab sudah ditelan dan manunggaling dengan dirinya. Maka yang penting bagi mereka untuk menjaga kitab itu tetap hidup, adalah meneruskan ke generasinya melalui tuturan.  Di sini, kelisanan (oral tradition) menjadi kuncinya.   

Kontestasi kelisanan dan keaksaraan dalam cerita Bambang dan Ayuh memang tidak menunjukkan secara eksplisit  siapa yang keluar sebagai pemenang. Hanya saja, dari cerita ini muncul semacam stereotyping bagi Ayuh dan keturunannya, Dayak-Meratus, sebagai orang-orang yang tuna aksara dan terkesan bodoh. Namun bagi orang-orang Dayak-Meratus, tentu saja kelisanan mengatasi keaksaraan, sebab kelisananlah yang paling mungkin mewakili  secara langsung kitab yang sudah menubuh tersebut. Bukankah kelisanan belum berjarak dari tubuh yang telah menelan kitab tersebut ?

Jika dalam cerita Ayuh dan Bambang tadi tidak secara tegas menunjukkan keunggulan lisan atas tulisan, maka tidak demikian halnya dalam keyakinan orang-orang Tanah Toa Kajang. Bagi mereka kelisanan adalah puncak pengetahuan, sementara tulisan berada di bawahnya. Cerita ini saya dengar dari Amma Toa, pemimpin adat Tanah Toa, pada suatu masa di penghujung bulan ke tujuh pada tahun 2004. 

Amma Toa Puto Palasa, demikian Ia biasa dipanggil, membentangkan perbandingan antara Pasang ri Kajang yang lisan dengan kitab-kitab lontara yang ditulis. Ibarat angka, demikian Amma, Pasang ri Kajang adalah angka satu; masih lurus, murni dan belum tercemari dengan kepentingan macam-macam. Sementara kitab-kitab yang ditulis sudah seperti angka 2 atau 3, sudah bengkok, karena sudah dimasuki bermacam-macam tafsir dan kepentingan.

Dalam kisah Ayuh-Bambang dan cerita Amma Toa, perjumpaan kelisanan dan keaksaraan adalah pertarungan yang saling mereduksi antara satu dengan lainnya. Berbeda dengan itu, bagi Walter J.Ong, perjumpaan antara kelisanan dan keaksaraan tidaklah bersifat reduksional, atau pertarungan yang saling melenyapkan satu atas yang lain. 

Perjumpaan keduanya cenderung relasional (Walter J. Ong, 2013). Tetapi Ong tidak bisa memungkiri, meski tidak serta merta melenyapkan, perjumpaan keduanya bergulat untuk saling mendominasi.  Ada masanya di mana kelisanan yang menjadi dominan. Sebaliknya, ada pula waktunya kelisanan itu berada di bawah bayang-bayang keaksaraan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun