Mohon tunggu...
I Je
I Je Mohon Tunggu... -

seringkali dianggap Lelaki..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ingin Pulang Tak Ingin Pergi, dalam Kenangan

2 April 2010   13:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:02 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disini, disudut ruangan ini. Aku mengenang waktu sebelas bulan yang sudah berlalu itu. Melekatkan mreka satu per satu dalam hati & pikirku di hari-hari terakhir ini. Mreka, keluarga besarku. Ya, besar.

Lima belas orang adik, yang kemudian harus menyusut menjadi sepuluh stelah tiga bulan pertama berlalu. Beberapa rekan seusia pada bagian lain dengan tanggungjawab yang berbeda, rekanrekan yang kerapkali meninggalkan jejak pada jajananku yang mreka habiskan hahahaha. Seorang bapak yang usia emasnya sempat kami rayakan bersama secara sederhana, yang hobi menjadikan kami korban photoshopnya. Kami, kerap menghabiskan waktu bersama hampir18 jam setiap harinya dalam sebuah ruangan. Sebuah ruang yang kami sebut gudang. Hingga seorang dari kami sampai membuatgroup “bocah gudang” dalam sebuah situs jejaring sosial. Ya, gudang. Karna nyatanya ini memang komplek pergudangan yang kami sewa dan kami sulap secara sederhana hingga layak disebut kantor. Ah tidak, bukan,kami tetap saja lebih sering menyebutnya gudang, terletak di Imam Bonjol 62 sebuah kecamatan. Angka 6 (enam) nya terlihat lebih pantas dibaca G. Entah siapa yang menulisnya dipapan kecil ala kadarnya itu. Ya, itu gudang kami, yang kavling 3. Gudang yang tidak hanya kami jadikan tempat bekerja, tapi juga cengkrama tanpa kasta.

Pada divisi lain, sembilan rekan dengan usia yang lebih dewasa, yang lebih banyak menghabiskan waktu kerja mreka dilapangan.

Seorang Bapak yang cukup pendiam dibanding delapan rekan sesamanya, yang mampu menyelesaikan program S2nya berkat perpanjangan proyek kami ini katanya. (Ya, semula proyek ini hanya dijadwalkan tiga bulan saja, tetapi harus menjadi lebih lama karna berbagai kendala) Rekan satu wilayahnya, seorang lelaki yang sedikit lebih vokal hingga cukup mengimbangi kesahajaan pendiamnya.

Kemudian dua orang rekan lapangan untuk lain wilayah, yang keduanya sangat pemurah. Tak hanya murah tawa tetapi juga beberapa kali menyelipkan lembarbiru dan merah ketika saya membayarkan hak-hakteman-teman lapangan yang berada dibawah komando mereka. “Titipan dari teman-teman lapangan Mbak, jadi harus saya sampaikan” ucap mreka.Sungguh aku menjadi sangat segan, bukan saja karna tahu sekali betapa rupiah itu sungguh sangat berharga bagi mereka, yang dalam pandanganku jika dibandingkan dengan gajiku jumlah itu tak seberapa, aku merasa gajiku sudah sangat cukup. Tetapi juga karena aku tidak terkait langsung dengan pekerjaan mereka. Lima belas adik laki2 itulah yang lebih terkait dengan proses kerja mereka. Aku haru dengan sikap mereka. Akhirnya kugunakan kembali uang itu untuk membelikan jajanan bagi adik-adikku, mereka lebih berhak menikmatinya.

Rekan lapangan lainnya sepasang suami istri yang tampak serasi, ditanggungjawabi dalam satu wilayah kerja secara bersama. Guyonan nyerempet 2menjadi karakteryang melekatpada sang suami. Bahkan aku tak luput disuguhi guyonannya itu hahaha.. ngga sopaaaan!

Seorang rekan lagi dengan kumis khasnya yang mirip jubir Bapak Negara kita, rekan lapangan yang cukup vokal dan terlihat sangat menguasai hubungan kemasyarakatan, yang kerap menjaili rekan sesamanya terkait honor bulanan mereka, yang ujung2nya sampai kpadaku untuk mengklarifikasi. Bahkan seorang rekan sesamanya ada yang harus kcelakaan atm krn mengikuti instruksi sesatnya, untung saja tidak fatal hahahaha.

Kemudian seorang perempuan, yang hampir setiap kunjungannya ke gudang kerap membawai kamimakanan. Tentu saja menjadi kesenangan tersendiri bagi kami atas kedatangannya. Seseorang, yang menganggapku adik, hingga satu dari lima belas adik lelaki itu sempat melontar ucap heran knapa Mbak sayang banget pada diriku, ketika adik lelaki itu menjemputnya disimpang jalan depan, crita si Mbak padaku. Mbak ,yang karna satu sebab membuat hubungan kami tak lagi hangat. Sikapku menjadi dingin setelah sebab itu terjadi. Aku tau dia sangat merasakannyadalam setiap kunjungan ke kantoryang hanya kusambut dengan ucap dan senyum sekedarnya. Maafin aku Mbak jika sikap ini menjadi luka bagimu.

Terakhir seorang ibu yang wilayah kerjanya sedikit menyimpang dari delapan rekan sesamanya, yang wilayah kerjanya bukan tanpa sengaja juga menjadi wilayah kerja terakhir yang kami selesaikan. Sosok wanita yang lebih diam dibanding tiga wanita lainnya dari yang Sembilan itu.

[caption id="attachment_108929" align="aligncenter" width="300" caption="formasi akhir yang tak sempurna/ doc.pribadi"][/caption]

Sempat kudatangi juga rumah seorang kawan saat peringatan seribu hari kematian papanya. Dikenalkan pada anak, istri, dan juga mamanya. “panggil mama saja ya” sembari mamanya menjabat tanganku. Nyesss.. aku punya mama baru, sambutan hangat kurasakan, bahagianya. Meski terasa kagok juga membiasakan diri memanggil mama, yang sosok tambunya mengingatkanku pada salah seorang tanteku. Itu baru satu. Masih ada tiga pasang orangtua lagi, yang memang kuanggap orangtua.

Orangtua pertama tak lain adalah induk semang dari kost ku pertama juga. Kamarku yang bersebelahan dengan ruang sholat keluarga cukup membuatku merasakan nuansa religi yang cukup kuat. Pasangan guru ini hampir tak pernah meninggalkan Subuh & Maghrib berjamaah. Terlebih aku juga melewatkan Ramadhan tahun lalu masih dikost pertama ini. Kegundahan sibungsu kala setiap pagi hendak bersiap berangkat sekolah terkadang membuatku terganggu sekaligus merasa lucu. Ada saja yang membuatnya menangis dalam memulai hari2 belajarnya. Pernah aku menggodanya saat slesai pengambilan raport. Kutanya, apa naik kelas? Dia jawab, naik donk. Aku bilang, ah bohong.. kok masih suka nangis hahahaha.. Usianya mengingatkanku pada keponakan pertamaku. Hal yang paling membuatku merasa bersalah pada keluarga ini adalah, ketika sempat terjadi kesalahpahaman terkait pekerjaan yang tanpa sengaja jadi melibatkan keluarga ini. Sekuat hati saya menahan airmata berbicara dengan mereka terkait kesalahpahaman tersebut. Sikap hangat mereka sangat kurasakan. Maafkan saya Pak, Bu..

Sepasang penjaga komplek gudang menjadi sosok yang juga kuanggap orangtua. Sepertinya tim kami menjadi penghuni gudang yang paling merepotkan mereka hahahaha.. Bayangkan saja, semua penghuni bagian2 gudang lain mengakhiri jam kerja tak lebih dari jam 5 sore. Kami? Dengan pembagian jam kerja pada kelimabelas adik lelaki itu, menjadikan jam akhir kantor tak pernah kurang dari jam dua dinihari. Kami menggaduh lelap si Bapak skedar untuk meminta kunci gerbang untuk pulang. Keuntungan dirasakan oleh penjaga gudang sebelah gudang kami. Ia acap kelewat telat dari kewajibannya karna gudang kami yang masih hidup sampai dinihari. Baru beberapa bulan terakhir ini saja kami dapat menduplikasi kunci gerbang gudang, sehingga tak perlu lagi merenggut lelap si Bapak. Oya, bersama pasangan ini juga ada tiga betina putih yang cukup mengancam kami diawal penempatan kav.3 itu. Mereka pasti menggonggong dan berjalan mendekat pada orang2 yang baru dikenali oleh indra pembaunya. Tak segan juga mereka mengejar jika orang baru itu terlihat ketakutan dan berlari hahahahaha. Ini sering dialami oleh teman2 lapangan yang hanya sekali dua kali mendatangi gudang. Bety, Sasya, Mona, nama ketiga betina putih itu.

Terakhir, induk semang dari kost yang kutempati tiga bulan terakhir ini. Mempunyai warung nasi kecil2an yang hanya buka tak sampai lewat senja. Karna usahanya ini aku jadi agak segan juga untuk menyalurkan sdikit keinginan memasakku, hanya sesekali saja pas warung Ibu libur, sehingga aku tidak mengganggu aktivitas dapur mereka. Di kost ini aku merasakan punya adik kost, perempuan. Dua orang anak MAN yang sekolahnya tak jauh dari kost kami, cukup berjalan kaki. Satu dari mereka terobsesi menjadi artis tampaknya, terlihat lebih manja & centil dari yang satunya. “Yaaah ngga ada Mbak Yank lagi dunk” keluh si cantik ktika aku sampaikan kabar itu. Iya dia jadi panggil aku begitu karna kerap mendengar aku menyanyikan hist grup Wali itu ktika menaiki tangga menuju kamar2 kami. Hahahaha ada2 saja. “Yaaah ngga ada yang bikin jelly lagi dunk, ngga ada yang gorengin kentang lagi dunk, ngga ada yang minta bukain pintu malam2 lagi dunk” rentet satunya. Ya gadis manis dan setia pada kekasihnya ini yang kerap aku gaduh untuk membukakan pintu setiap aku pulang malam dan kelewat malam. Sedih meraupi hatiku mendengar tutur mereka. Oya selain mereka berdua, ada juga dua perempuan kecil lain yang masih duduk di kelas 1 SMP. Satunya anak Ibu kost kami yang khilangan kakaknyasebulan sebelum aku menempati kost disana, berpulang pada Yang Maha. Semoga tak ada lagi yang membuatnya tersedak ketika kami menimati jelly bersama hahahahha..Seorang lagi, teman satu sekolahnya, lebih pendiam tetapi pasti selalu menyapa setiap aku baru pulang.

Tak ketinggalan, pemilik salon rumahan yang letaknya tak jauh dari MAN, sekolah adik2 kostku. Ingat betul kali itu aku kali pertama memanjakan kepala ini disana, dengan harga yang relative murah ketimbang tarif Jakarta untuk perawatan yang serupa. Kugenapkan uang jasanya karna cukup merasa puas atas pelayanannya. Tapi apa yang terjadi? Ia mengejar langkahku yang sudah melewati pintu salonnya dan memaksaku menerima kembalian yang dia bilang bukan haknya. Nyesss.. terenyuh aku.

Sungguh kali ini terasa lebih berat bagiku meninggalkan kota ini. Kota yang aku tak punya saudara disini tapi ku dapatkan keluarga. Kota yang mayoritas penduduknya oleh kebanyakan orang dikenal keras, tapi aku merasakan kehangatan dan keramahan. Kota yang tak pernah memergoki ku membawa sepeda tanpa SIM &STNK. Kota yang sedini hari apapun aku kembali dari Jakarta & berjalan sendiri namun tetap merasa aman. Kota yang mampu membuat ku berani memacu sepeda hingga 100km/jam, yang di Jkt tak ada nyali kulakukan itu. Kota yang memberitahuku bahwa pecel ayam itu ya nasi + ayam + pecelbukan ayam lalapan yang berarti nasi + ayam + lalapan hahahahah. Kota yang kebanyakan tempat2 makannya menyuguhkan minuman tanpa sedotan. Duuh terlalu banyak kenangan dr kota ini yang tak bisa kulepaskan.

Ini bukan pulang biasa. Pusat memintaku kembali ke Jakarta, selamanya. Kapan lagi aku kembali ke kota ini? Entahlah.

Jakarta, aku memang ingin pulang.. tapi Jember, sungguh aku belum ingin pergi..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun